BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Novel Divergent
karya Veronica Roth adalah novel yang bergenre fiksi imiah terbit pada tahun
2011 silam. Novel ini mengisahkan tentang
pembagian lima faksi di masyarakat berdasarkan kepribadian mereka
masing-masing. Kisah novel ini berlangsung di kota Chicago di masa depan usai perang
nuklir yang menghancurkan
dunia. Tokoh utama dalam novel ini yakni Beatrice Pior, Novel ini bercerita
tentang tokoh Beatrice Pior yang harus meninggalkan keluarga dan faksi asalnya
untuk faksi pilihan. Ada lima faksi yang diceritakan yakni Abnegation untuk orang-orang yang tidak
mementingkan diri sendiri dan tanpa pamrih; Amity untuk orang-orang yang cinta
perdamaian; Candor untuk orang-orang jujur; Dauntless untuk orang-orang pemberani; dan Erudite untuk orang-orang cerdas. Setiap
tahunnya, semua penduduk yang berusia enam belas tahun harus mengikuti tes yang
akan menentukan faksi yang paling cocok bagi mereka. Setelah menerima hasil
tes, mereka harus memutuskan apakah akan tetap tinggal bersama keluarga atau
bergabung dengan faksi baru.
Novel The
Hunger Games adalah
novel fiksi ilmiah tahun
2008 karangan Suzanne Collins penulis
berkebangsaan Amerika Serikat. Novel
ini dikisahkan dalam sudut pandang seorang gadis
enam belas tahun bernama Katniss Everdeen, yang tinggal
di sebuah negara distopia pasca apokalips (bencana
yang dahsyat) bernama Panem di Amerika Utara pada masa depan. Negara
tersebut diperintah oleh Seorang
diktator yang terdiri dari ibu kota Capitol dan dua belas distrik
disekelilinginya, distrik-distrik tersebut disatukan di bawah kontrol Capitol. “Hunger
Games” pada novel The Hunger Games
adalah istilah untuk pertandingan saling membunuh satu sama lain antar peserta
yang mewakili distrik masing-masing. Acara “Hunger Games” diselanggarakan setiap tahun oleh Capitol sebagai hukuman
atas pemberontakan distrik terhadap Capitol yang terjadi di masa lalu. Seorang
anak lelaki dan perempuan yang berusia antara dua belas dan delapan belas tahun
dari masing-masing distrik dipilih melalui pengundian setiap tahunnya untuk
ikut serta dalam “Hunger Games”,
pertandingan yang mengharuskan peserta (tribut) untuk bertarung sampai mati di
arena yang diawasi oleh orang-orang Capitol, hingga akhirnya hanya menyisakan
satu peserta sebagai pemenang.
Kedua novel ini berfokus pada pada tema-tema fiksi ilmiah. Novel Divergent dikritik karena kemiripan temanya
dengan novel sejenis lainnya. Seorang pengamat buku dari Amerika Serikat
menyatakan bahwa novel Divergent mengikuti pola yang sama dengan novel The
Hunger Games, banyak ide-ide yang
sama dari kedua novel ini. Meski kedua novel berfokus
pada pada tema-tema fiksi ilmiah, keduanya juga menangkat fenomena-fenomena sosial
dalam masyarakat, seperti struktur sosial yang membedakan kelas-kelas
masyarakat, politik yang menindas masyarakat kalangan bawah, dan lain
sebagainya.
Membicarakan prihal
nilai yang terkandung dalam kedua novel ini, keduanya dapat dikatakan karya
sastra yang bermutu karena memberikan manfaat bagi pembaca dalam menjalani
kehidupan,
banyak pesan-pesan moral yang disampaikan pengarang, seperti bagaimana
memperjuangkan hak-hak sebagai manusia dan bagaimana bertahan hidup dalam
keterbatasan ekonomi. Untuk memperoleh nilai didik tersebut, salah satu cara yang paling tepat, yaitu dengan membaca, memahami, dan
merenungkan isi kedua novel tersebut.
Kedua novel tersebut mengangkat tema yang sama, dengan tema yang sama
terdapat pula persamaan dan perbedaan. Persamaan dan perbedaan
tersebut menandakan bahwa setiap pengarang mempunyai pesan tersendiri yang disampaikan melalui
karyanya. Persamaan
dan
perbedaan dalam beberapa karya sastra dapat dianalisis dengan menggunakan
prinsip intertekstualitas. Prinsip ini
dimaksudkan untuk mengkaji teks yang dianggap memiliki hubungan tertentu dengan teks lain
sehingga dimungkinkan suatu karya menjadi hipogram bagi
karya sastra selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Bagaimanakah
struktur novel Divergent karya Veronica Roth?
b. Bagaimanakah
struktur novel The Hunger Games karya Suzanne Collins?
c. Bagaimanakah
persamaan antara novel Divergent karya Veronica Roth dan The Hunger
Games karya Suzanne Collins?
d. Bagaimanakah
perbedaan antara novel Divergent karya Veronica Roth dan The Hunger
Games karya Suzanne Collins?
e. Bagaimanakah
nilai pendidikan novel Divergent karya Veronica Roth dan The Hunger
Games karya Suzanne Collins?
1.3 Tujuan
Penelitian
Sesuai rumusan masalah di atas, tujuan penelitian
ini dapat dipaparkan
sebagai
berikut.
a. Mendeskripsikan
struktur novel Divergent karya Veronica Roth.
b. Mendeskripsikan
struktur novel The Hunger Games karyaSuzanne Collins.
c. Mendeskripsikan
persamaan antara novel novel Divergent karya Veronica Roth dan The
Hunger Games karya Suzanne Collins.
d. Mendeskripsikan
perbedaan antara novel novel Divergent karya Veronica Roth dan The
Hunger Games karya Suzanne Collins.
e. Mendeskripsikan
nilai pendidikan novel novel Divergent karya Veronica Roth dan The
Hunger Games karya Suzanne Collins.
1.4 Manfaat
Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini
dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Manfaat
Teoretis
Manfaat
teoretis penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan kontribusi bagi
bidang kajian sastra. Dengan demikian, penelitian ini nantinya berperan untuk
memperkaya perkembangan sastra ataupun terhadap apresiasi sastra itu sendiri.
b.
Manfaat
Praktis
1. Bagi
pengarang, penelitian ini dapat memberikan masukan untuk dapat menciptakan
karya sastra yang lebih baik lagi.
2. Bagi
pembaca, penelitian ini dapat menambah minat pembaca dalam mengapresiasi karya
sastra.
3. Bagi
peneliti lain, penelitian ini dapat memperkaya wawasan sastra dan menambah
khasanah penelitian sastra Indonesia sehingga bermanfaat bagi perkembangan
sastra Indonesia.
4. Bagi
guru Bahasa Indonesia, penelitian ini dapat menjadi bahan dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia terutama pembelajaran apresiasi sastra karena dalam kedua
novel ini sarat dengan nilai pendidikan.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
a. Penelitian yang dilaksanakan oleh Hegarimie (2005)
dalam bentuk
skripsi berjudul
Novel Sejarah Lusi Lindri dan Roro Mendut (Kajian
Intertekstualitas dan Nilai Edukatif), berkesimpulan bahwa kedua novel tersebut memiliki
persamaan yang terletak pada aspek: (1) penokohan, dari segi fisik, psikologis,
dan sosiologis; (2) tema; (3) alur; (4) amanat;
dan (5) nilai pendidikan agama,
sedangkan
perbedaan kedua novel terletak pada: (1) sikap hidup tokoh;
(2) latar; (3) nilai pendidikan: sosial, estetis, dan moral.
b. Penelitian yang dilaksanakan oleh Ety Yuni Widiastuti (2005) dalam bentuk skipsi berjudul Novel Atheis Karya Achdiat Kartamihardja
dan Novel Burung- burung
Manyar Karya Y. B. Mangunwijaya (Kajian Intertekstualitas), berkesimpulan bahwa kedua novel tersebut memiliki
persamaan yang terletak pada
aspek: (1)
sudut
pandang; (2)
latar waktu; (3) alur (akhir
cerita/penyelesaian), sedangkan perbedaannya terletak pada
aspek: (1) penokohan; (2) tema; (3) alur; (4) latar tempat; (5) gaya; dan (6) suasana cerita.
2.2 Landasan Teori
a.
Pengertian
Novel
Menurut Nurgiyantoro (2009:4) novel
adalah suatu karya fiksi yang menawarkan suatu dunia yaitu dunia yang berisi
suatu model yang diidealkan,dunia imajiner, yang dibangun melalui berbagai
sistem intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh (penokohan), latar, sudut
pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja juga bersifat imajinatif.
Novel adalah salah satu genre sastra yang dibangun oleh beberapa unsur.
Sesuai dengan pendapat Waluyo
(2002:136)
yang menyatakan bahwa cerita
rekaan adalah wacana yang dibangun
oleh beberapa unsur. Unsur-unsur itu membangun suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi diri atau membangun sebuah struktur. Unsur-unsur itu bersifat fungsional, artinya dicipta
pengarang untuk
mendukung maksud secara keseluruhan dan maknanya ditentukan oleh
keseluruhan cerita itu.
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas, cerita rekaan atau novel adalah salah satu genre sastra yang dibangun oleh beberapa unsur. Unsur-unsur itu membangun sebuah struktur. Unsur-unsur
tersebut saling berkaitan secara erat dan
saling menggantungkan untuk membangun kesatuan makna.
b.
Strukutur
Novel
Cerita rekaan (novel) adalah sebuah struktur yang diorganisasikan
oleh unsur-unsur fungsional yang membangun totalitas karya. Unsur-unsur
pembangun
novel
memiliki
banyak aspek.
Menurut Hudson
(dalam Waluyo, 2002: 137), unsur-unsur tersebut adalah: (1) plot;
(2) pelaku; (3) dialog dan
karakterisasi; (4) setting yang meliputi timing dan action; (5) gaya penceritaan (style),
termasuk point of view;
dan
(6) filsafat hidup pengarang. Sementara itu, Waluyo (2006: 4)
menyebutkan bahwa unsur-unsur pembangun novel meliputi: (1) tema cerita; (2) plot atau kerangka cerita; (3) penokohan dan perwatakan; (4) setting atau latar; (5) sudut pandang pengarang atau point of view;
(6) latar belakang atau background;
(7) dialog atau percakapan; (8) gaya bahasa atau gaya bercerita;
(9) waktu cerita dan waktu penceritaan; dan (10) amanat.
Secara
garis besar berbagai macam
unsur pembangun fiksi secara
tradisional dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian, walau pembagian ini
tidak
benar-benar pilah, yaitu unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik
meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan,
bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Unsur ekstrinsik meliputi
keyakinan, pandangan hidup, psikologi, lingkungan, dan sebagainya (Burhan Nurgiyantoro, 2005:
23).
Berdasarkan beberapa pendapat di
atas, secara garis besar struktur novel meliputi: (1) tema; (2) alur/plot; (3) penokohan
dan perwatakan; (4) latar/setting;
(5) sudut pandang pengarang/point of view; dan (6) amanat. Berikut diuraikan satu
per satu mengenai struktur novel.
1.
Tema
Tema selalu berkaiatan dengan pengalaman hidup manusia. Sejalan dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 25) bahwa tema adalah sesuatu
yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman
kehidupan, seperti masalah
cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, tema dapat disinonimkan
dengan ide atau
tujuan utama cerita.
Dengan
demikian,
untuk menemukan tema sebuah
karya
fiksi
haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian- bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara
pasti, bukanlah makna yang ‘disembunyikan’, walau belum tentu juga dilukiskan secara
eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak
(secara sengaja)
disembunyikan
karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada
pembaca. Namun demikian, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ‘tersembunyi’ di balik
cerita
yang mendukungnya.
2.
Alur/Plot
Alur atau plot
cerita sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan
waktu
yang menunjukkan hubungan sebab
akibat
dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang (Waluyo, 2006: 5).
Sementara itu, Tasrif
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149-150) membedakan tahapan plot menjadi lima bagian, yaitu:
a. Tahap Situation (tahap
penyituasian)
Tahap pembuka cerita, pemberian informasi awal yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang
dikisahkan pada tahap berikutnya.
b. Tahap Generating Circumstances (tahap
pemunculan konflik)
Tahap awal munculnya konflik, konflik itu sendiri akan berkembang dan atau
dikembangkan menjadi konflik-konflik pada
tahap berikutnya.
c. Tahap Rising Action
( tahap peningkatan konflik)
Tahap pada saat konflik yang muncul mulai berkembang dan dikembangkan
kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun
keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-
benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks
semakin tidak dapat dihindari.
d. Tahap Climax
(tahap klimak
Konflik dan
atau
pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan
atau dilimpahkan kepada
para
tokoh
cerita mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks.
e. Tahap Denouement (tahap
penyelesaian)
Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau
konflik-konflik tambahan jika
ada, juga diberi jalan keluar dan cerita
diakhiri.
Plot dapat
dikategorikan dalam
beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut tinjauan atau
kriteria
yang berbeda
pula.
Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a.
Plot Lurus
(progesif)
Plot dikatakan
progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat
kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti
oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian.
b.
Plot Sorot-balik
(flash-back)
Urutan kejadian yang dikisahkan dalam
karya fiksi yang beralur regresif
tidak bersifat kronologis. Cerita tidak
dimulai dari tahap awal (yang benar- benar merupakan
awal
cerita secara logika), tetapi mungkin dari
tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
c.
Plot Campuran
Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak beralur lurus-kronologis
atau
sebalinya sorot-balik. Secara garis besar, plot sebuah novel
mungkin
progresif, tetapi di dalamnya betapapun
kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot-balik. Demikian pula sebaliknya, bahkan
sebenarnya boleh dikatakan tidak mungkin ada sebuah ceritapun yang mutlak flash- back. Hal itu disebabkan jika yang demikian terjadi, pembaca akan
sangat sulit mengikuti
cerita yang dikisahkan yang secara
terus-menerus
dilakukan secara mundur (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 153-157).
3.
Penokohan dan Perwatakan
Tokoh
dapat dibedakan
menurut peranannya terhadap jalan
cerita dan
peranan serta fungsinya dalam cerita (Waluyo, 2002: 16). Berdasarkan
peranannya terhadap jalan cerita, tokoh dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama, yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung
cerita.
b. Tokoh antagonis,
yaitu
tokoh penentang cerita. Biasanya
ada
seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang
ikut
menentang cerita.
c. Tokoh triagonis, yaitu tokoh pembantu,
baik untuk tokoh protagonis
maupun untuk tokoh triagonis.
Sementara
itu,
berdasarkan peranan dan
fungsinya dalam
cerita, tokoh
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak cerita. Tokoh
sentral merupakan pusat perputaran cerita. Dalam hal ini, tokoh sentral adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
b. Tokoh utama, yaitu tokoh
pendukung atau penentang tokoh sentral. Dapat
juga
sebagai medium atau perantara tokoh sentral. Dalam hal ini adalah tokoh triagonis.
c. Tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang
peran pelengkap atau
tambahan dalam mata rangkai cerita. Kehadiran tokoh pembantu ini menurut kebutuhan cerita saja. Tidak
semua
cerita menampilkan kehadiran tokoh pembantu.
4.
Latar/Setting.
Setting
adalah
tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat
berkaitan dengan dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Setting juga dapat
dikaitkan dengan tempat dan
waktu
(Waluyo, 2006: 10). Lebih lanjut
dipaparkan bahwa setting
berkaitan
dengan pengadegan, latar belakang, waktu
cerita, dan
waktu
penceritaan. Pengadegan
artinya penyusunan adegan-adegan dalam cerita. Latar belakang (background)
dalam menampilkan
setting dapat berupa latar
belakang sosial, budaya, psikis, dan
fisik yang
kira-kira dapat memperhidup cerita itu. Dengan
deskripsi dan narasi, latar belakang dapat muncul
dan
jika diperkaya dengan latar belakang lain, cerita
akan
lebih hidup. Waktu cerita ialah lamanya waktu penceritaan tokoh utama dari awal hingga akhir cerita,
sedangkan waktu
penceritaan ialah waktu pembacaan, biasanya lamanya jam.
Senada dengan pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro (2005: 227)
menyebutkan bahwa unsur
latar dapat dibedakan dalam tiga unsur pokok,
yaitu tempat, waktu, dan sosial. Unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan
dapat
dibicarakan secara sendiri, pada
kenyataannya saling berkaitan dan
saling mempengaruhi.
Berikut rincian unsur-unsur latar.
a. Latar
Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu
tanpa nama jelas. Penggunaan latar dengan nama-
nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak,
tidak
bertentangan dengan sifat atau keadaan geografis tempat yang
bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain.
Penggunaan
banyak atau sedikitnya
latar
tempat
tidak berhubungan dengan
kadar kelitereran
karya
yang bersangkutan.
Keberhasilan latar tempat lebih
ditentukan
oleh ketepatan
deskripsi,
fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar lain
sehingga semuanya
bersifat saling mengisi. Keberhasilan penampilan
unsur latar itu sendiri antara lain
dilihat dari segi koherensinya dengan unsur
fiksi
lain dan
dengan tuntutan cerita
secara keseluruhan.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-petistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan
waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan
peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian digunakan untuk mencoba masuk
dalam suasana
cerita.
Latar waktu dalam fiksi
dapat menjadi
dominan dan fungsional jika
digarap secara
teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu
sejarah. Pengangkatan unsur sejarah dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan
dapat menjadi sangat fungsional sehingga tidak dapat diganti dengan
waktu yang
lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur
cerita yang lain.
c. Latar Sosial
Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat
di suatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah
dalam lingkup yang cukup kompleks. Tata cara
tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat
istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan
hidup, cara berpikir dan
bersikap, dan sebagainya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau
kaya.
Latar sosial berperan menentukan
sebuah latar, khususnya latar
tempat, akan menjadi khas dan tipikal atau hanya bersifat netral. Dengan
kata lain, untuk menjadi tipikal dan lebih fungsional, deskripsi latar tempat
harus sekaligus disertai deskripsi latar sosial, tingkah
laku kehidupan
sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa
pendapat
di atas,
dapat
disimpulkan bahwa
setting atau latar adalah
penggambaran
ruang, waktu,
dan keadaan sosial dalam
cerita. Penggambaran latar ini biasanya disesuaikan
dengan cerita,
waktu, dan suasana serta sosial budaya tempat
cerita berlangsung. Hal ini
bertujuan agar pesan yang ingin disampaikan pengarang dapat sampai pada
pembaca.
5.
Sudut Pandang Pengarang/Point of View
Sudut pandang pengarang adalah cara pandang pengarang dalam
sebuah karya fiksi. Sesuai dengan pendapat Abrams dalam Burhan
Nurgiyantoro (2005: 248) yang menyebutkan bahwa sudut pandang/point of view menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan
atau
pandangan yang digunakan pengarang sebagai
sarana untuk menyajikan
tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Sudut pandang kiranya dapat disamakan artinya, bahkan dapat memperjelas, dengan istilah
pusat pengisahan. Atar Semi (1993: 57) berpendapat bahwa pusat pengisahan
adalah posisi dan penempatan diri
pengarang dalam
ceritanya, atau “dari mana" ia melihat peristiwa-peristiwa
yang terdapat dalam
ceritanya itu. Terdapat beberapa jenis pusat pengisahan, yaitu:
a. Pengarang sebagai tokoh cerita
Pengarang sebagai tokoh cerita
bercerita tentang keseluruhan kejadian atau
peristiwa, terutama yang menyangkut diri tokoh.
b. Pengarang sebagai tokoh sampingan
Orang yang bercerita dalam hal ini adalah
seorang tokoh
sampingan yang
menceritakan peristiwa
yang bertalian, terutama dengan tokoh utama cerita.
c. Pengarang sebagai orang ketiga (pengamat)
Pengarang sebagai
orang ketiga berada di luar cerita bertindak sebagai
pengamat sekaligus sebagai narator yang menjelaskan peristiwa yang
berlangsung serta
suasana perasaan dan pikiran para
pelaku
cerita.
d. Pengarang sebagai pemain dan narator
Pengarang yang bertindak sebagai pelaku utama cerita sekaligus sebagai narator yang menceritakan tentang orang lain di samping tentang dirinya,
biasanya keluar masuk cerita.
Point of view dinyatakan sebagai sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang
digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita
itu.
Shipley menyebutkan
adanya dua jenis point of view, yaitu internal point of
view
dan external point of view. Internal point of view ada empat macam,
yaitu: (1) tokoh yang bercerita; (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut
pandang akuan;
dan (4) pencerita sebagai tokoh
sampingan dan bukan tokoh
hero. Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan
ada dua, yaitu: (1)
gaya diaan; dan (2) penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya (Waluyo,
2006: 11).
Di pihak lain, Burhan Nurgiyantoro (2005: 256-271) menyebutkan
bahwa sudut pandang dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu: (1) sudut pandang
persona ketiga: “dia” (“dia” mahatahu dan “dia” terbatas atau sebagai
pengamat);
(2) sudut pandang
persona pertama: “aku”
(“aku”
tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan); dan
(3) sudut pandang campuran (dapat berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu dan
“dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai
tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran
antara
persona pertama
dan ketiga, antara “aku”
dan “dia” sekaligus).
Berdasarkan beberapa
pendapat
di atas,
dapat
disimpulkan bahwa
sudut pandang
pengarang
adalah strategi atau teknik yang
digunakan
pengarang untuk menempatkan
dirinya dalam sebuah cerita. Sudut pandang dapat pula diartikan sebagai pusat pengisahan. Berdasarkan pandangan pengarang ini pulalah
pembaca mengikuti
jalannya cerita dan memahami temanya.
6.
Amanat
Amanat merupakan
unsur
cerita fiksi yang mempunyai hubungan erat dengan tema. Amanat berarti
apabila ada dalam tema, sedangkan tema akan
sempurna apabila di
dalamnya ada amanat sebagai pemecah atau jalan keluar
bagi
tema tersebut. Karya sastra menampilkan suatu peristiwa yang dilandasi suatu tema lengkap dengan
permasalahannya. Seperti yang dikemukakan oleh
Panuti Sudjiman (1988: 57) bahwa jika permasalahan yang diajukan dalam
cerita juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, jalan
keluarnya itulah yang
disebut amanat.
Apabila tema karya sastra berhubungan dengan arti (meaning) dari karya sastra itu, amanat berhubungan dengan makna (significance) dari karya
itu.
Tema bersifat
sangat lugas, objektif, dan khusus, sedangkan amanat
bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap pembaca dapat berbeda-beda
menafsirkan makna karya itu bagi dirinya dan
semuanya cenderung
dibenarkan (Waluyo, 2002: 28).
Berdasarkan beberapa
pendapat
di atas,
dapat
disimpulkan bahwa
amanat
adalah pesan yang
ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca.
Amanat yang dipetik oleh pembaca dapat
digunakan
sebagai teladan bagi
kehidupan manusia. Amanat tersebut
disampaikan pengarang melalui
ceritanya baik
secara tersurat maupun tersirat.
c.
Hakikat Intertekstualitas
prinsip intertekstualitas berasal dari
Perancis dan bersumber pada aliran
strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, Jaquea Derrida dan dikembangkan oleh Kristeva (Rina Ratih dalam
Jabrohim dan Ari Wulandari, 2001: 126).
Lebih lanjut, Kristeva
(dalam Jabrohim dan Ari Wulandari,
2001:
113)
mendefinisikan
intertekstual sebagai ringkasan pengetahuan yang memungkinkan teks mempunyai arti. Sekali kita berpendapat tentang teks seperti bergantung pada teks lain yang diserap, ditransformasi maka
di
situ pula intersubjektif terpasang, yaitu intertekstualitas.
Karya sastra tidak lahir dari situasi kekosongan budaya. Oleh karena itu, karya sastra
tidak
dapat
terlepas dari konteks
sejarah dan sosial masyarakat. Seperti yang dikemukakan Luxemburg (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 50)
bahwa intertekstualitas diartikan sebagai kita menulis dan membaca dalam suatu
‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra, yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa
“kapan” pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya.
Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam
wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang
ditulis
sebelumnya.
Pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang
dapat
diberontaki ataupun disimpangi dan pemahaman teks baru memerlukan latar pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya
(Jabrohim dan Ari Wulandari, 2001: 126). Lewat kisi itu, teks dibaca dan diberi struktur dengan menimbulkan harapan yang memungkinkan
pembaca
untuk
memetik ciri-ciri menonjol dan memberikannya sebuah struktur.
Sebuah
karya sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya sastra
yang lain.
Riffaterre (dalam Rachmat Djoko Pradopo,
2002:
24)
mengemukakan bahwa karya sastra yang melatarbelakangi penciptaan
karya sastra sesudahnya disebut sebagai karya hipogram. Hipogram merupakan
karya yang menjadi dasar penciptaan
karya lain yang lahir kemudian. Karya yang diciptakan berdasarkan hipogram itu disebut sebagai karya transformasi karena mentransformasikan teks- teks yang menjadi hipogramnya. Lebih lanjut diungkapkan Riffaterre
(dalam
Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 55) bahwa karya sastra yang menjadi
hipogram diserap dan
ditransformasikan
dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan
adanya persamaan. Dengan menjajarkan sebuah teks dengan
teks
yang menjadi hipogramnya, makna teks tersebut menjadi jelas baik teks itu mengikuti
maupun
menentang hipogramnya.
Begitu
juga
situasi
yang dilukiskan,
menjadi
lebih
terang
hingga dapat diberikan makna
sepenuhnya.
Pendapat lain yang senada dengan pendapat di atas, dikemukakan oleh
Rachmat Djoko Pradopo (1997:
228) bahwa prinsip dasar intertekstualitas
adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh
dalam kaitannya dengan
teks lain yang
menjadi hipogram. Lebih
lanjut
dikatakan
bahwa prinsip intertekstualitas yang penting adalah prinsip pemahaman dan pemberian makna
teks
sendiri, tidak mempersoalkan saduran atau turunan, tetapi setiap teks itu
merupakan peresapan, penyerapan, dan
transformasi teks lain. Oleh
karena itu, berlaku
prinsip bahwa untuk dapat memberikan makna penuh sebuah teks, teks harus
dibicarakan dalam kaitannya dengan teks yang menjadi hipogramnya.
Ada di bagian lain, dinyatakan
bahwa untuk mendapatkan makna yang
sepenuhnya itu dalam menganalisis tidak boleh
dilepaskan karya sastra dari
konteks sejarah
dan konteks sosial-budayanya, dalam hubungan pembicaraan
intertekstual
ini berkenaan
dengan konteks sejarah
sastranya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sebuah
karya sastra baik itu puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang
kemudian. Hubungan
sejarah ini baik berupa persamaan maupun pertentangan. Dengan demikian, membicarakan karya sastra itu sebaiknya dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum,
atau sesudahnya (Rachmat Djoko
Pradopo,1995: 167).
Secara garis besar, penelitian intertekstualitas memiliki
dua
fokus. Pertama, meminta perhatian kita tentang pentingnya teks yang terdahulu (prior
texs). Tuntutan adanya otonomi teks sebenarnya dapat menyesatkan gagasan,
sebuah karya memiliki arti
karena dalam hal-hal tertentu telah dituliskan lebih
dahulu oleh pengarang lain. Kedua, intertekstualitas akan membimbing peneliti untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai
kode
yang memungkinkan lahirnya
berbagai efek signifikasi. Berdasarkan
dua
fokus
ini,
tampak bahwa karya sastra sebelumnya banyak berperan
dalam sebuah
penciptaan (Culler dalam Jabrohim dan Ari Wulandari, 2001: 113).
Beberapa pendapat di
atas, jelas menegaskan bahwa prinsip intertekstualitas menekankan
terjadinya
proses keberlangsungan pemaknaan
secara luas antara teks-teks yang kemudian dan teks-teks yang terdahulu. Keberlangsungan pemaknaan menandai hubungan antarteks baik
yang
bersifat hubungan
persamaan maupun
pertentangan. Karya sastra yang melatarbelakangi
penciptaan karya sastra sesudahnya disebut sebagai karya hipogram, sedangkan
karya yang diciptakan
berdasarkan hipogram disebut karya transformasi.
d.
Hakikat Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra
Karya sastra merupakan hasil imajinasi dan
kreativitas pengarang. Akan
tetapi,
karya
sastra juga
dapat
memberikan pengalaman kepada pembacanya
seperti halnya sifat karya sastra yang dulce
et utile, selain menghibur juga
memberikan manfaat bagi pembaca dalam menjalani kehidupan. Dengan
kreativitas dan kepekaan
rasa, seorang pengarang tidak saja mampu memberikan keindahan rangkaian cerita, tetapi juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan
renungan tentang agama, filsafat, dan berbagai macam persoalan dalam kehidupan manusia. Beraneka pandangan ini disampaikan pengarang melalui rangkaian kejadian, perwatakan
para tokoh, ataupun komentar yang
diberikan pengarang.
Beraneka pandangan yang terkandung dalam
sebuah
karya sastra ini
menunjukkan bahwa karya sastra yang bermutu akan mengandung
nilai didik tentang kehidupan yang bermanfaat bagi pembaca. Untuk memperoleh nilai didik
tersebut salah satu usaha yang paling tepat, yaitu dengan membaca karya sastra. Dengan membaca, memahami, dan merenungkannya, pembaca akan memperoleh pengetahuan
dan pendidikan
dari
karya sastra yang telah dibaca. Hal ini sesuai dengan pendapat Dendy Sugono (2003: 111) yang menyatakan bahwa dengan membaca karya sastra, kita akan memperoleh “sesuatu” yang dapat memperkaya wawasan dan atau meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam
karya
sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan. Karya sastra (yang baik)
senantiasa
mengandung
nilai (value). Nilai ini dikemas dalam wujud struktur
karya sastra, yang secara implikasi terdapat
dalam alur, latar, tokoh, tema,
dan amanat.
Nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai
subjek,
menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi,
pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi
perilaku yang
ketat (Munandar Sulaeman, 1998: 19). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pertimbangan nilai dalam praktiknya mungkin bersifat
subjektif atau objektif. Pertimbangan nilai yang bersifat
subjektif dianggap sebagai ekspresi perasaan atau keinginan seseorang. Nilai
subjektif ini berperan
dalam menimbulkan
kebaikan dan permohonan terhadap kebaikan. Nilai subjektif terdapat dalam alam
yang dalam, alamnya akal, dan
bergantung pada
hubungan antara
seorang penganut dan hal yang dinilainya. Sementara itu, pertimbangan nilai yang bersifat objektif beranggapan
bahwa nilai-nilai itu terdapat dalam dunia kita ini dan harus
kita gali. Nilai
objektif adalah nilai-nilai fundamental yang mencerminkan
universalitas kondisi fisik, psikologi sosial, dan keperluan manusia di mana saja
(Munandar Sulaeman, 1998: 23).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang baik buruk yang memiliki
sifat-sifat atau hal-hal penting dan berguna bagi
kemanusiaan. Kenyataannya, manusia memiliki unsur cipta, rasa, dan karsa yang semuanya itu selalu tumbuh
dan berkembang. Oleh karena pertumbuhan
dan perkembangan tersebut, diperlukan adanya bermacam-
macam nilai bagi setiap
unsur
atau komponen.
Suatu nilai jika dihayati seseorang, akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, ataupun cara bertindak dalam mencapai
tujuan hidupnya. Nilai yang terdapat dalam karya sastra tergantung pada persepsi
dan
pengertian yang diperoleh pembaca melalui karya sastra. Tidak semua persepsi dan pengertian yang diperoleh seperti yang diharapkan. Nilai ini hanya dapat diperoleh pembaca
jika karya
yang dibaca menyentuh perasaannya.
Dendy Sugono (2003: 111) mengemukakan bahwa nilai yang terkandung dalam karya sastra antara
lain sebagai berikut.
1. Nilai hedoik (hedoic
value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca;
2. Nilai artistik (artistic value),
yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu
seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan;
3. Nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau
mengandung hubungan yang mendalam dengan
suatu masyarakat, peradaban,
atau kebudayaan;
4. Nilai etis, moral, agama (ethical, moral, religious value),
yaitu nilai yang
dapat memberikan atau
memancarkan petuah
atau ajaran yang
berkaitan dengan etika, moral, atau agama;
5. Nilai praktis (practical value),
yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis
yang dapat
diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Ada keterkaitan
khusus antara karya sastra dan moral. Menurut Kinayati (2006:
740), banyaknya
karya
sastra yang mengandung nilai-nilai moral membuktikan hal
tersebut. Dengan terkandungnya nilai moral dalam karya sastra, pengarang dapat merefleksikan pandangan
hidupnya melalui nilai-nilai kebenaran
sehingga karya sastra tersebut dapat menawarkan pesan-pesan
moral yang
berkaitan
dengan sifat
luhur manusia,
memperjuangkan hak
dan martabat
manusia. Sifat
luhur manusia yang digambarkan pengarang melalui sikap dan tingkah laku para tokoh
dalam sebuah karya sastra dapat membantu membentuk pribadi pembaca sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan berakhlak menjadi
lebih baik lagi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa inilah pesona karya sastra dalam
pendidikan moral.
Nilai moral
yang akan disampaikan pengarang
menyatu dalam
alur
cerita. Dalam cerita tersebut, pembaca
akan
bertemu dengan berbagai perbuatan
para tokoh yang dilukiskan pengarang dalam berbagai
peristiwa. Dengan
sendirinya, pembaca akan memahami perilaku-perilaku yang baik dan
perilaku-
perilaku yang buruk. Melalui alur cerita itulah
pengarang memberikan
petunjuk,
nasihat, perbuatan
susila, dan budi pekerti. Moralitas dipahami sebagai tindakan sukarela, yakni kesadaran hati akan kemanusiaan. Bertindak moral berarti
bertindak suka menolong, membantu semata-mata bukan untuk mencapai tujuan tertentu atau
tergerak oleh kecenderungan-kecenderungan emosional. Dengan
demikian, moral membicarakan
tingkah laku manusia atau masyarakat yang dilakukan dengan sadar, dipandang dari sudut baik dan buruk.
Secara singkat dapat diartikan bahwa nilai sastra merupakan segala sesuatu yang positif yang berguna bagi kehidupan manusia. Nilai ini hanya
dapat diperoleh pembaca jika karya yang dibaca menyentuh perasaanya. Dalam pengertian ini, nilai adalah sesuatu yang berhubungan dengan etika (baik dan
buruk), logika (benar dan salah), dan estetika
(indah dan jelek).
BAB III
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
3.1
Bentuk dan Strategi Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
kualitatif.
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan informasi
kualitatif dengan cara mendeskripsikan secara
detil dan cermat keadaan, gejala, fenomena, serta unsur- unsur sebagai keutuhan struktur dalam
teks-teks yang menjadi
objek penelitian. Sementara itu, strategi penelitian yang digunakan adalah content analysis atau
analisis isi terhadap dokumen atau arsip. Menganalisis data yang diperoleh dari novel Divergent
karya
Veronica Roth dan The
Hunger Games karya Suzzane Collins. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan intertekstualitas, yaitu untuk mengetahui hubungan
antara novel Divergent karya
Veronica Roth dan The
Hunger Games karya Suzanne Collins.
3.2
Data dan Sumber Data
Data merupakan
semua informasi yang disediakan oleh
alam yang harus dicari
dan dikumpulkan
oleh peneliti sesuai
dengan masalah yang dihadapi. Data
merupakan bagian yang penting dalam penelitian. Oleh karena itu, berbagai hal yang merupakan bagian dari
keseluruhan
proses pengumpulan data harus benar-
benar dipahami
oleh setiap peneliti. Adapun data dalam penelitian ini berupa data lunak yang berwujud kata, kalimat, ungkapan yang terdapat dalam novel Divergent karya
Veronica Roth dan The
Hunger Games karya Suzanne Collins.
Sumber data adalah tempat data itu diambil
atau
diperoleh. Adapun
sumber data dalam penelitian ini adalah novel Divergent karya
Veronica Roth yang diterbitkan
oleh Gramedia (Jakarta) pada tahun
2011 dan novel
The Hunger Games karya Suzanne
Collins yang diterbitkan oleh Gramedia (Jakarta) pada tahun 2008.
3.3
Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data yang berupa kata, kalimat, ungkapan
yang terdapat
dalam
novel
Divergent
karya
Veronica Roth dan The
Hunger Games karya Suzanne Collins maka teknik pengumpulan
datanya dilakukan
dengan teknik pustaka, yaitu menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh
data.
Sumber-sumber tersebut dapat berupa
majalah, surat kabar, karya sastra, karya ilmiah, dan sebagainya. Adapun langkah-langkah pengumpulan
datanya, yaitu: (1) membaca novel Divergent dan The Hunger Games secara berulang-ulang; dan (2) mencatat kata, kalimat, ungkapan yang berkaitan
dengan struktur novel, yang
menggambarkan
adanya persamaan
dan perbedaan dalam
kedua novel, dan nilai
pendidikan yang terdapat dalam kedua
novel.
3.4
Teknik Analisis
Data
Teknik analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model analisis mengalir (flow model of
analysis) yang meliputi tiga komponen, yaitu:
a. Reduksi Data (Data Reduction)
Pada bagian ini, langkah yang dilakukan yaitu mencatat data yang
diperoleh dalam bentuk uraian secara
rinci. Data yang diambil berupa kata, kalimat, ungkapan
yang terdapat
dalam novel Divergent karya
Veronica Roth dan The
Hunger Games karya Suzanne Collins yang mengungkapkan informasi tentang struktur kedua novel tersebut, yang meliputi: tema, plot/alur, penokohan dan perwatakan, setting/latar, point of view/sudut pandang pengarang, dan amanat
serta nilai pendidikan dalam kedua novel tersebut.
Informasi-informasi
yang mengacu pada permasalahan itulah yang menjadi
data penelitian ini.
b. Sajian Data (Data Display)
Data yang telah terkumpul dikelompokkan dalam beberapa bagian sesuai dengan jenis permasalahannya agar mudah untuk dianalisis. Langkah
ini
telah memasuki analisis data yang kemudian dijabarkan dan dibandingkan
antara data yang satu dan data yang lain. Hal ini bertujuan untuk menemukan persamaan dan perbedaan kedua
novel serta untuk menemukan nilai pendidikan yang terkandung
dalam kedua novel tersebut.
c. Penarikan Simpulan (Conclution Drawing)
Pada tahap ini peneliti telah memasuki tahap pembuatan simpulan
dari
data yang telah diperoleh
sejak awal penelitian.
Simpulan ini masih
bersifat sementara maka akan
tetap diverifikasi (diteliti kembali tentang kebenaran laporan) selama penelitian berlangsung. Kegiatan yang dilakukan
dalam tahap ini, yaitu data yang diperoleh dari novel Divergent karya
Veronica Roth dan The
Hunger Games karya Suzanne Collins disimpulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Collins, Suzanne. 2008. The Hunger Games. Jakarta: Gramedia
Jabrohim dan Wulandari. 2001. Metodologi Penelitian
Sastra.
Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Nurgiyantoro, Burhan.
2005. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah
Mada
University Press.
Pradopo. Rahmat Djoko. 1995. Beberapa
Teori
Sastra, Metode Kritik,
dan Penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Roth, Veronica. 2008. Divergent. Jakarta: Gramedia
Sayuti. 1997. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan
Kebudayaan.
Semi,
Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa
Raya.
Sugono, Dendy. 2003. Buku Praktis Bahasa
Indonesia
2.
Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sulaeman, Munandar 1998. Ilmu Budaya Dasar:
Suatu Pengantar. Bandung:
Refika Aditama.
Waluyo. 2006. Pengkajian
dan
Apresiasi Prosa Fiksi.
Surakarta: Sebelas
Maret University Press.
Mas, kalau boleh tau nama lengkapnya siapa? Dan tahun brp anda melakukan penelitian ini? Mau saya masukkan ke proposal dalam kajian pustaka saya. Terima kasih sebelumnya :D
BalasHapus