Prasasti Bahasa dan Sastra Indonesia

Kamis, 27 November 2014

PROPOSAL KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN NOVEL DIVERGENT KARYA VERONICA ROTH DAN THE HUNGER GAMES KARYA SUZANNE COLLINS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Novel  Divergent karya Veronica Roth adalah novel yang bergenre fiksi imiah terbit pada tahun 2011 silam. Novel ini mengisahkan tentang pembagian lima faksi di masyarakat berdasarkan kepribadian mereka masing-masing. Kisah novel ini berlangsung di kota Chicago di masa depan usai perang nuklir yang menghancurkan dunia. Tokoh utama dalam novel ini yakni Beatrice Pior, Novel ini bercerita tentang tokoh Beatrice Pior yang harus meninggalkan keluarga dan faksi asalnya untuk faksi pilihan. Ada lima faksi yang diceritakan yakni Abnegation untuk orang-orang yang tidak mementingkan diri sendiri dan tanpa pamrih; Amity untuk orang-orang yang cinta perdamaian; Candor untuk orang-orang jujur; Dauntless untuk orang-orang pemberani; dan Erudite untuk orang-orang cerdas. Setiap tahunnya, semua penduduk yang berusia enam belas tahun harus mengikuti tes yang akan menentukan faksi yang paling cocok bagi mereka. Setelah menerima hasil tes, mereka harus memutuskan apakah akan tetap tinggal bersama keluarga atau bergabung dengan faksi baru.
Novel The Hunger Games adalah novel fiksi ilmiah tahun 2008 karangan Suzanne Collins penulis berkebangsaan Amerika Serikat. Novel ini dikisahkan dalam sudut pandang seorang gadis enam belas tahun bernama Katniss Everdeen, yang tinggal di sebuah negara distopia pasca apokalips (bencana yang dahsyat) bernama Panem di Amerika Utara pada masa depan. Negara tersebut diperintah oleh Seorang diktator yang terdiri dari ibu kota Capitol dan dua belas distrik disekelilinginya, distrik-distrik tersebut disatukan di bawah kontrol Capitol. “Hunger Games” pada novel The Hunger Games adalah istilah untuk pertandingan saling membunuh satu sama lain antar peserta yang mewakili distrik masing-masing. Acara “Hunger Games” diselanggarakan setiap tahun oleh Capitol sebagai hukuman atas pemberontakan distrik terhadap Capitol yang terjadi di masa lalu. Seorang anak lelaki dan perempuan yang berusia antara dua belas dan delapan belas tahun dari masing-masing distrik dipilih melalui pengundian setiap tahunnya untuk ikut serta dalam “Hunger Games”, pertandingan yang mengharuskan peserta (tribut) untuk bertarung sampai mati di arena yang diawasi oleh orang-orang Capitol, hingga akhirnya hanya menyisakan satu peserta sebagai pemenang.
Kedua novel ini berfokus pada pada tema-tema fiksi ilmiah. Novel Divergent dikritik karena kemiripan temanya dengan novel sejenis lainnya. Seorang pengamat buku dari Amerika Serikat menyatakan bahwa novel Divergent mengikuti pola yang sama dengan novel The Hunger Games, banyak ide-ide yang sama dari kedua novel ini. Meski kedua novel berfokus pada pada tema-tema fiksi ilmiah, keduanya juga menangkat fenomena-fenomena sosial dalam masyarakat, seperti struktur sosial yang membedakan kelas-kelas masyarakat, politik yang menindas masyarakat kalangan bawah, dan lain sebagainya.
Membicarakan prihal nilai yang terkandung dalam kedua novel ini, keduanya dapat dikatakan karya sastra yang bermutu karena memberikan manfaat bagi pembaca dalam menjalani kehidupan, banyak pesan-pesan moral yang disampaikan pengarang, seperti bagaimana memperjuangkan hak-hak sebagai manusia dan bagaimana bertahan hidup dalam keterbatasan ekonomi. Untuk memperoleh nilai didik tersebut, salah satu cara yang paling tepat, yaitu dengan membaca, memahami, dan merenungkan isi kedua novel tersebut.
Kedua novel tersebut mengangkat tema yang sama, dengan tema yang sama terdapat pula persamaan dan perbedaan. Persamaan dan perbedaan tersebut menandakan bahwa setiap   pengaran mempunyai   pesan   tersendir yang   disampaika melalui karyanya. Persamaan dan perbedaan dalam beberapa karya sastra dapat dianalisis dengan menggunakan prinsip intertekstualitas. Prinsip ini dimaksudkan untuk mengkaji teks yang dianggap memiliki hubungan tertentu dengan teks lain sehingga dimungkinkan suatu karya menjadi hipogram bagi karya sastra selanjutnya.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut.
a.       Bagaimanakah struktur novel Divergent karya Veronica Roth?
b.      Bagaimanakah struktur novel The Hunger Games karya Suzanne Collins?
c.       Bagaimanakah persamaan antara novel Divergent karya Veronica Roth dan The Hunger Games karya Suzanne Collins?
d.      Bagaimanakah perbedaan antara novel Divergent karya Veronica Roth dan The Hunger Games karya Suzanne Collins?
e.       Bagaimanakah nilai pendidikan novel Divergent karya Veronica Roth dan The Hunger Games karya Suzanne Collins?


1.3  Tujuan Penelitian
Sesuai rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini dapat dipaparkan
sebagai berikut.
a.       Mendeskripsikan struktur novel Divergent karya Veronica Roth.
b.      Mendeskripsikan struktur novel The Hunger Games karyaSuzanne Collins.
c.       Mendeskripsikan persamaan antara novel novel Divergent karya Veronica Roth dan The Hunger Games karya Suzanne Collins.
d.      Mendeskripsikan perbedaan antara novel novel Divergent karya Veronica Roth dan The Hunger Games karya Suzanne Collins.
e.       Mendeskripsikan nilai pendidikan novel novel Divergent karya Veronica Roth dan The Hunger Games karya Suzanne Collins.

1.4  Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a.      Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan kontribusi bagi bidang kajian sastra. Dengan demikian, penelitian ini nantinya berperan untuk memperkaya perkembangan sastra ataupun terhadap apresiasi sastra itu sendiri.
b.      Manfaat Praktis
1.    Bagi pengarang, penelitian ini dapat memberikan masukan untuk dapat menciptakan karya sastra yang lebih baik lagi.
2.    Bagi pembaca, penelitian ini dapat menambah minat pembaca dalam mengapresiasi karya sastra.
3.      Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat memperkaya wawasan sastra dan menambah khasanah penelitian sastra Indonesia sehingga bermanfaat bagi perkembangan sastra Indonesia.
4.      Bagi guru Bahasa Indonesia, penelitian ini dapat menjadi bahan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia terutama pembelajaran apresiasi sastra karena dalam kedua novel ini sarat dengan nilai pendidikan.













BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1  Penelitian Terdahulu
a.    Penelitiayandilaksanakan oleh Hegarimie (2005)  dalam bentuk  skripsi berjudul Novel Sejarah Lusi Lindri dan Roro Mendut (Kajian Intertekstualitas dan Nilai Edukatif), berkesimpulan bahwa kedua novel tersebut memiliki persamaan yang terletak pada aspek: (1) penokohan, dari segi fisik, psikologis, dan sosiologis; (2) tema; (3) alur; (4) amanat; dan (5) nilai pendidikan agama, sedangkan perbedaan kedua novel terletak pada: (1) sikap hidup tokoh; (2) latar; (3) nilai pendidikan: sosial, estetis, dan moral.
b.    Penelitian yang dilaksanakan oleh Ety Yuni Widiastuti (2005) dalam  bentuk skipsi berjudul Novel Atheis Karya Achdiat Kartamihardja dan Novel Burung- burung Manyar Karya Y. B. Mangunwijaya (Kajian Intertekstualitas), berkesimpulan bahwa kedua novel tersebut memiliki persamaan yang terletak pada        aspek:   (1)   sudut   pandang (2)   latar   waktu;   (3)   alur   (akhir cerita/penyelesaian), sedangkan perbedaannya terletak pada aspek: (1) penokohan; (2) tema; (3) alur; (4) latar tempat; (5) gaya; dan (6) suasana cerita.

2.2  Landasan Teori
a.      Pengertian Novel
Menurut Nurgiyantoro (2009:4) novel adalah suatu karya fiksi yang menawarkan suatu dunia yaitu dunia yang berisi suatu model yang diidealkan,dunia imajiner, yang dibangun melalui berbagai sistem intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh (penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya, tentu saja juga bersifat imajinatif.
Novel adalah salah satu genre sastra yang dibangun oleh beberapa unsur. Sesuai  dengan  pendapat  Waluyo  (2002:136)  yang  menyatakan  bahwa  cerita rekaan adalah wacana yang dibangun oleh beberapa unsur. Unsur-unsur itu membangun suatu kesatuan, kebulatan, dan regulasi diri atau membangun sebuah struktur.  Unsur-unsur  itu  bersifat  fungsional,  artinya  dicipta  pengarang  untuk mendukun maksud   secara   keseluruha da maknany ditentukan   oleh keseluruhan cerita itu.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, cerita rekaan atau novel adalah salah satu genre sastra yang dibangun oleh beberapa unsur. Unsur-unsur itu membangun sebuah struktur. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan secara erat dan saling menggantungkan untuk membangun kesatuan makna.
b.      Strukutur Novel
Cerita rekaan (novel) adalah sebuah struktur yang diorganisasikan oleh unsur-unsur fungsional yang membangun totalitas karya. Unsur-unsur pembangun novel  memiliki  banyak  aspek.  Menurut  Hudson  (dalam  Waluyo,  2002:  137), unsur-unsur tersebut adalah: (1) plot; (2) pelaku; (3) dialog dan karakterisasi; (4) setting yang meliputi timing dan action; (5) gaya penceritaan (style), termasuk point of view; dan (6) filsafat hidup pengarang. Sementara itu, Waluyo (2006: 4) menyebutkan bahwa unsur-unsur pembangun novel meliputi: (1) tema cerita; (2) plot atau kerangka cerita; (3) penokohan dan perwatakan; (4) setting atau latar; (5) sudut pandang pengarang atau point of view; (6) latar belakang atau background; (7) dialog atau percakapan; (8) gaya bahasa atau gaya bercerita; (9) waktu cerita dan waktu penceritaan; dan (10) amanat.
Secara garis besar berbagai macam unsur pembangun fiksi secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, walau pembagian ini tidak benar-benar pilah, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Unsur ekstrinsik meliputi keyakinan, pandangan hidup, psikologi, lingkungan, dan sebagainya (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 23).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, secara garis besar struktur novel meliputi: (1) tema; (2) alur/plot; (3) penokohan dan perwatakan; (4) latar/setting; (5) sudut pandang pengarang/point of view; dan (6) amanat. Berikut diuraikan satu per satu mengenai struktur novel.
1.    Tema
Tema selalu berkaiatan dengan pengalaman hidup manusia. Sejalan dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 25) bahwa tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.
Dengan  demikian,  untuk  menemukatema  sebuah  karya  fiksi haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian- bagian tertentu cerita. Tema, walau suliditentukan secara pasti, bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan  karena  justru  hainilayanditawarkan kepada pembaca. Namun demikian, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya.
2.    Alur/Plot
Alur atau plot cerita sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab akibat  dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang (Waluyo, 2006: 5).
Sementara itu, Tasrif (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149-150) membedakan tahapan plot menjadi lima bagian, yaitu:
a.       Tahap Situation (tahap penyituasian)
Tahap pembuka cerita, pemberian informasi awal yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
b.      Tahap Generating Circumstances (tahap pemunculan konflik)
Tahap awal munculnya konflik, konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
c.       Tahap Rising Action ( tahap peningkatan konflik)
Tahap   pada   saat   konfli yan muncu mula berkemban dan dikembangkan kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan- benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.
d.      Tahap Climax (tahap klimak
Konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau  dilimpahkakepada  para  tokoh  cerita  mencapatitik  intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks.
e.       Tahap Denouement (tahap penyelesaian)
Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada, juga diberi jalan keluar dan cerita diakhiri.
Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut  tinjauan  atau  kriteria  yang  berbeda  pula.  Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a.      Plot Lurus (progesif)
Plot dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian.
b.      Plot Sorot-balik (flash-back)
Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang beralur regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar- benar merupakan awal cerita secara logika), tetapi mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
c.       Plot Campuran
Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak beralur lurus-kronologis atau sebalinya sorot-balik. Secara garis besar, plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot-balik. Demikian pula sebaliknya, bahkan sebenarnya boleh dikatakan tidak mungkin ada sebuah ceritapun yang mutlak flash- back. Hal itu disebabkan jika yang demikian terjadi, pembaca akan sangat suli mengikuti   cerit yan dikisahka yan secara   terus-menerus dilakukan secara mundur (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 153-157).

3.    Penokohan dan Perwatakan
Tokoh dapat dibedakan menurut peranannya terhadap jalan cerita dan peranan serta fungsinya dalam cerita (Waluyo, 2002: 16). Berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita, tokoh dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a.    Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama,  yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita.
b.    Tokoh  antagonis,  yaitu  tokoh  penentang  cerita.  Biasanya  ada  seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita.
c.    Tokotriagonis,  yaitu  tokoh  pembantu,  baik  untuk  tokoh  protagonis maupun untuk tokoh triagonis.
Sementara  itu,  berdasarkan  peranan  dan  fungsinya  dalam  cerita,  tokoh dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a.    Tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak cerita. Tokoh sentral merupakan pusat perputaran cerita. Dalam hal ini, tokoh sentral adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
b.    Tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral. Dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral. Dalam hal ini adalah tokoh triagonis.
c.    Tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rangkai cerita. Kehadiran tokoh pembantu ini menurut kebutuhan cerita saja. Tidak semua cerita menampilkan kehadiran tokoh pembantu.


4.    Latar/Setting.
Setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Setting juga dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu (Waluyo, 2006: 10). Lebih lanjut dipaparkan bahwa setting berkaitan dengan pengadegan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu penceritaan. Pengadegan artinya penyusunan adegan-adegan dalam cerita. Latar belakang (background) dalam menampilkan setting dapat berupa latar belakang sosial, budaya, psikis, dan fisik yang kira-kira dapat memperhidup cerita itu. Dengan deskripsi dan narasi, latar belakang dapat muncul dan jika diperkaya dengan latar belakang lain, cerita akan lebih hidup. Waktu cerita ialah lamanya waktu penceritaan tokoh utama dari awal hingga akhir cerita, sedangkan waktu penceritaan ialah waktu pembacaan, biasanya lamanya jam.
Senada dengan pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) menyebutkan bahwa unsur  latar dapat dibedakan dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya  saling  berkaitan  dan  saling  mempengaruhi.  Berikut  rincian unsur-unsur latar.
a.    Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat  yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar dengan nama- nama  tertentu  haruslah  mencerminkan  atau  paling  tidak,  tidak bertentanga dengan    sifat    atau   keadaan   geografi tempat    yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain.
Penggunaan  banyak  atau  sedikitnya  latar  tempat  tidak berhubungan dengan kadar kelitereran karya yang bersangkutan. Keberhasilan  latar  tempat  lebih  ditentukan  oleh  ketepatan  deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi. Keberhasilan penampilan unsur latar itu sendiri antara  lain  dilihat  dari  segi  koherensinya  dengan unsur  fiksi  lain  dan dengan tuntutan cerita secara keseluruhan.
b.    Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-petistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian digunakan untuk mencoba masuk dalam suasana cerita.
Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional sehingga tidak dapat  diganti dengan  waktu yang  lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain.
c.    Latar Sosial
Latar sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Tata cara tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan sebagainya. Di samping itu, latar sosial juga berhubungan denga status   sosia toko yan bersangkutan misalny rendah, menengah, atau kaya.
Latar sosial berperan menentukan sebuah latar, khususnya latar tempat, akan menjadi khas dan tipikal atau hanya bersifat netral. Dengan kata lain, untuk menjadi tipikal dan lebih fungsional, deskripsi latar tempat harus  sekaligus  disertai  deskripsi  latar  sosial,  tingkah  laku  kehidupan sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan.
Berdasarkabeberapa  pendapat  di atas,  dapat  disimpulkan  bahwa setting  atau  latar  adalah  penggambaran  ruang,  waktu,  dan keadaan  sosial dalam cerita. Penggambaran latar ini biasanya disesuaikan dengan cerita, waktu, dan suasana serta sosial budaya tempat  cerita berlangsung. Hal ini bertujuan agar pesan yang ingin disampaikan pengarang dapat sampai pada pembaca.

5.    Sudut Pandang Pengarang/Point of View
Sudut pandang pengarang adalah cara pandang pengarang dalam sebuah karya fiksi. Sesuai dengan pendapat Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro (2005: 248) yang menyebutkan bahwa sudut pandang/point of view menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Sudut pandang kiranya dapat disamakan artinya, bahkan dapat memperjelas, dengan istilah pusat pengisahan. Atar Semi (1993: 57) berpendapat bahwa pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana" ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu. Terdapat beberapa jenis pusat pengisahan, yaitu:
a.    Pengarang sebagai tokoh cerita
Pengarang sebagai tokoh cerita bercerita tentang keseluruhan kejadian atau peristiwa, terutama yang menyangkut diri tokoh.
b.      Pengarang sebagai tokoh sampingan
Orang yang bercerita dalam hal ini adalah seorang tokoh sampingan yang menceritakaperistiwa  yang  bertalian,  terutama  dengatokoh  utama cerita.
c.       Pengarang sebagai orang ketiga (pengamat)
Pengarang sebagai orang ketiga berada di luar cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai narator yang menjelaskan peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku cerita.
d.      Pengarang sebagai pemain dan narator
Pengarang yang bertindak sebagai pelaku utama cerita sekaligus sebagai narator yang menceritakan tentang orang lain di samping tentang dirinya, biasanya keluar masuk cerita.
Point of  view dinyatakan sebagai sudut pandang pengarang,  yaitu teknik  yang  digunakaoleh  pengarang  untuk  berperan  dalam  cerita  itu. Shipley menyebutkan adanya dua jenis point of view, yaitu internal point of view dan external point of view. Internal point of view ada empat macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita; (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; dan (4) pencerita sebagai tokoh sampingan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada dua, yaitu: (1) gaya diaan; dan (2) penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya (Waluyo, 2006: 11).
Di pihak lain, Burhan Nurgiyantoro (2005: 256-271) menyebutkan bahwa sudut pandang dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) sudut pandang persona ketiga: dia (dia” mahatahu dan dia” terbatas atau sebagai pengamat); (2) sudut pandang persona pertama: aku” (aku” tokoh utama dan aku tokoh tambahan); dan (3) sudut pandang campuran (dapat berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik dia mahatahu dan dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik aku” sebagai tokoh utama dan aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara aku” dan dia” sekaligus).
Berdasarkabeberapa  pendapat  di atas,  dapat  disimpulkan  bahwa sudut   pandang   pengarang   adalah  strategi  atau   tekni yang   digunakan pengarang untuk menempatkan dirinya dalam sebuah cerita. Sudut pandang dapat pula diartikan sebagai pusat pengisahan. Berdasarkan pandangan pengarang ini pulalah pembaca mengikuti jalannya cerita dan memahami temanya.

6.    Amanat
Amanat merupakan unsur cerita fiksi yang mempunyai hubungan erat dengan tema. Amanat berarti apabila ada dalam tema, sedangkan tema akan sempurna apabila di dalamnya ada amanat sebagai pemecah atau jalan keluar bagi tema tersebut. Karya sastra menampilkan suatu peristiwa yang dilandasi suatu tema lengkap dengan permasalahannya. Seperti yang dikemukakan oleh Panuti Sudjiman (1988: 57) bahwa jika permasalahan yang diajukan dalam cerita juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, jalan keluarnya itulah yang disebut amanat.
Apabila tema karya sastra berhubungan dengan arti (meaning) dari karya sastra itu, amanat berhubungan dengan makna (significance) dari karya itu.  Tema  bersifat  sangat  lugas,  objektif,  dan  khusus,  sedangkaamanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap pembaca dapat berbeda-beda menafsirka makn kary it bagi   diriny dan   semuany cenderung dibenarkan (Waluyo, 2002: 28).
Berdasarkabeberapa  pendapat  di atas,  dapat  disimpulkan  bahwa amanat  adalah pesayang  ingin disampaikan pengarang  kepada pembaca. Amanat  yandipetioleh pembaca dapat  digunakan  sebagai teladan  bagi kehidupa manusia.   Amanat   tersebut   disampaikan   pengaran melalui ceritanya baik secara tersurat maupun tersirat.

c.    Hakikat Intertekstualitas
prinsip intertekstualitas berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, Jaquea Derrida dan dikembangkan oleh Kristeva (Rina Ratih dalam Jabrohim dan Ari Wulandari 2001:  126).   Lebi lanjut,   Kristeva  (dalam  Jabrohim  da Ari Wulandari,  2001:  113)  mendefinisikan  intertekstual  sebagai  ringkasan pengetahuan yang memungkinkan teks mempunyai arti. Sekali kita berpendapat tentang teks seperti bergantung pada teks lain yang diserap, ditransformasi maka di situ pula intersubjektif terpasang, yaitu intertekstualitas.
Karya sastra tidak lahir dari situasi kekosongan budaya. Oleh karena itu, karya  sastra  tidak  dapat  terlepas  dari  konteks  sejarah  dan  sosial  masyarakat. Seperti yang dikemukakan Luxemburg (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 50) bahwa intertekstualitas diartikan sebagai kita menulis dan membaca dalam suatu ‘interteks suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra, yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya.
Pemberontakan atau  penyimpangan  mengandaikan adanysesuatu  yang  dapat diberontaki ataupun disimpangi dan pemahaman teks baru memerlukan latar pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya (Jabrohim dan Ari Wulandari, 2001: 126).  Lewat kisi itu, teks dibaca dan diberi struktur dengan menimbulkan harapan yang memungkinkan pembaca untuk memetik ciri-ciri menonjol dan memberikannya sebuah struktur.
Sebuah karya sastra baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan karya  sastra  yang  lain.  Riffaterre  (dalam Rachmat Djoko Pradopo,  2002:  24)  mengemukakan bahwa karya sastra yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra sesudahnya disebut sebagai karya hipogram. Hipogram merupakan karya yang menjadi dasar penciptaan karya lain yang lahir kemudian. Karya yang diciptakan berdasarkan hipogram itu disebut sebagai karya transformasi karena mentransformasikan teks- teks yang menjadi hipogramnya. Lebih lanjut diungkapkan Riffaterre (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 55) bahwa karya sastra yang menjadi hipogram diserap dan ditransformasikan dalam teks sastra sesudahnya yang menunjukkan adanya persamaan. Dengan menjajarkan sebuah teks dengan teks yang menjadi hipogramnya, makna teks tersebut menjadi jelas baik teks itu mengikuti maupun menentang  hipogramnya.  Begitu  juga  situasi  yang  dilukiskan,  menjadi  lebih terang hingga dapat diberikan makna sepenuhnya.
Pendapat lain yang senada dengan pendapat di atas, dikemukakan oleh Rachmat Djoko Pradopo (1997: 228) bahwa prinsip dasar intertekstualitas adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain  yang  menjadi  hipogram.  Lebih  lanjut  dikatakan  bahwa  prinsip intertekstualitas yang penting adalah prinsip pemahaman dan pemberian makna teks sendiritidak mempersoalkan saduran atau turunan, tetapi setiap teks itu merupakan peresapan, penyerapan, dan transformasi teks lain. Oleh karena itu, berlaku prinsip bahwa untuk dapat memberikan makna penuh sebuah teks, teks harus dibicarakan dalam kaitannya dengan teks yang menjadi hipogramnya.
Ada di bagian lain, dinyatakan bahwa untuk mendapatkan makna yang sepenuhnya itu dalam menganalisis tidak boleh dilepaskan karya sastra dari konteks sejarah dan konteks sosial-budayanya, dalam hubungan pembicaraan intertekstual ini berkenaan dengan konteks sejarah sastranya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sebuah karya sastra baik itu puisi maupun prosa mempunyai hubunga sejarah   antara   kary sezaman yang   mendahuluiny atau   yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan maupun pertentangan. Dengan demikian, membicarakan karya sastra itu sebaiknya dalam hubungannya dengan  karya  sezaman,  sebelum,  atau  sesudahnya  (Rachmat  Djoko  Pradopo,1995: 167).
Secara garis besar, penelitian intertekstualitas memiliki dua fokus. Pertama, meminta perhatian kita tentang pentingnya teks yang terdahulu (prior texs).  Tuntutan adanya  otonomteks  sebenarnya  dapat  menyesatkan gagasan, sebuah karya memiliki arti karena dalam hal-hal tertentu telah dituliskan lebih dahulu oleh pengarang lain. Kedua, intertekstualitas akan membimbing peneliti untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai kode yang memungkinkan lahirnya  berbagaefek  signifikasi.  Berdasarkan  dua  fokus  ini,  tampak  bahwa karya sastra sebelumnya banyak berperan dalam sebuah penciptaan (Culler dalam Jabrohim dan Ari Wulandari, 2001: 113).
Beberapa pendapat di atas, jelas menegaskan bahwa prinsip intertekstualita menekankan  terjadinya   prose keberlangsungan  pemaknaan secara luas antara teks-teks yang kemudian dan teks-teks yang terdahulu. Keberlangsungan pemaknaan menandai hubungan antarteks baik  yang  bersifat hubungan persamaan maupun pertentangan. Karya sastra yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra sesudahnya disebut sebagai karya hipogram, sedangkan karya yang diciptakan berdasarkan hipogram disebut karya transformasi.
d.   Hakikat Nilai Pendidikan dalam Karya  Sastra
Karya sastra merupakan hasil imajinasi dan kreativitas pengarang. Akan tetapi,  karya  sastra  juga  dapat  memberikan  pengalaman  kepada  pembacanya seperti halnya sifat karya sastra yang dulce et utile, selain menghibur juga memberikan manfaat bagi pembaca dalam menjalani kehidupan. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa, seorang pengarang tidak saja mampu memberikan keindahan rangkaian cerita, tetapi juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama, filsafat, dan berbagai macam persoalan dalam kehidupan manusia. Beraneka pandangan ini disampaikan pengarang melalui rangkaian kejadian, perwatakan para tokoh, ataupun komentar yang diberikan pengarang.
Beraneka pandangan yang terkandung dalam sebuah karya sastra ini menunjukkan bahwa karya sastra  yanbermutu akan mengandung  nilai didik tentang kehidupan yang bermanfaat bagi pembaca. Untuk memperoleh nilai didik tersebut salah satu usaha yang paling tepat, yaitu dengan membaca karya sastra. Dengan membaca, memahami, dan merenungkannya, pembaca akan memperoleh pengetahuan dan pendidikan dari karya sastra yang telah dibaca. Hal ini sesuai dengan pendapat Dendy Sugono (2003: 111) yang menyatakan bahwa dengan membaca karya sastra, kita akan memperoleh “sesuatu” yang dapat memperkaya wawasan dan atau meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam karya sastra ada sesuatyanbermanfaat bagi kehidupan.  Karya sastra (yanbaik) senantiasa  mengandung  nilai (value).  Nilaini  dikemas dalam wujud  struktur karya sastra, yang secara implikasi terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat.
Nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang keta (Munandar   Sulaeman 1998:   19).   Lebi lanjut   dijelaskan   bahwa pertimbangan  nilai dalam praktiknya  mungkibersifat  subjektif atau objektif. Pertimbangan nilai yanbersifat  subjektif dianggap sebagai ekspresi perasaan atau keinginan seseorang. Nilai subjektif ini berperan dalam menimbulkan kebaikan dan permohonan terhadap kebaikan. Nilai subjektif terdapat dalam alam yang  dalam,  alamnya  akal,  dan  bergantung  pada  hubungaantara  seorang penganut dan hal yang dinilainya. Sementara itu, pertimbangan nilai yang bersifat objektif beranggapan bahwa nilai-nilai itu terdapat dalam dunia kita ini dan harus kita gali. Nilai objektif adalah nilai-nilai fundamental yang mencerminkan universalitas kondisi fisik, psikologi sosial, dan keperluan manusia di mana saja (Munandar Sulaeman, 1998: 23).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang baik buruk yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal penting dan berguna bagi kemanusiaan. Kenyataannya, manusia memiliki unsur cipta, rasa, dan karsa yang semuanya itu selalu tumbuh dan berkembang. Oleh karena pertumbuhan dan perkembangan tersebut, diperlukan adanya bermacam- macam nilai bagi setiap unsur atau komponen.
Suatu nilai jika dihayati seseorang, akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap, ataupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya. Nilai yang terdapat dalam karya sastra tergantung pada persepsi dan pengertian yang diperoleh pembaca melalui karya sastra. Tidak semua persepsi dan pengertian yang diperoleh seperti yang diharapkan. Nilai ini hanya dapat diperoleh  pembaca  jika  karya  yang  dibaca  menyentuh  perasaannya.  Dendy Sugono (2003: 111) mengemukakan bahwa nilai yang terkandung dalam karya sastra antara lain sebagai berikut.
1.    Nilai hedoik (hedoic value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca;
2.    Nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan;
3.    Nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, atau kebudayaan;
4.    Nilai etis,  moral, agama (ethical, moral, religious value),  yaitu nilai yang dapat  memberikan  atau  memancarkan  petuah  atau  ajaran  yang  berkaitan dengan etika, moral, atau agama;
5.    Nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Ada keterkaitan khusus antara karya sastra dan moral. Menurut Kinayati (2006: 740), banyaknya karya sastra yang mengandung nilai-nilai moral membuktikan hal tersebut. Dengan terkandungnya nilai moral dalam karya sastra, pengarang dapat merefleksikan pandangan hidupnya melalui nilai-nilai kebenaran sehingga karya sastra tersebut dapat menawarkan pesan-pesan moral yang berkaitan  dengan  sifat   luhur  manusia,  memperjuangkan  hak  dan  martabat manusia. Sifat  luhur  manusia yang digambarkan pengaranmelalui sikap dan tingkah laku para tokoh dalam sebuah karya sastra dapat membantu membentuk pribadi pembaca sebagai makhluk Tuhan yang bermartabat dan berakhlak menjadi lebih baik lagi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa inilah pesona karya sastra dalam pendidikan moral.
Nilai  moral  yang  akadisampaikan  pengarang  menyatu  dalam  alur cerita. Dalam cerita tersebut, pembaca akan bertemu dengan berbagai perbuatan para tokoh yang dilukiskan pengarang dalam berbagai peristiwa. Dengan sendirinya, pembaca akan memahami perilaku-perilaku yang baik dan perilaku- perilaku yang buruk. Melalui alur cerita itulah pengarang memberikan petunjuk, nasihat, perbuatan susila, dan budi pekerti. Moralitas dipahami sebagai tindakan sukarela, yakni kesadaran hati akan kemanusiaan. Bertindak moral berarti bertindak suka menolong, membantu semata-mata bukan untuk mencapai tujuan tertentu atau tergerak oleh kecenderungan-kecenderungan emosional. Dengan demikian, moral membicarakan tingkah laku manusia atau masyarakat yang dilakukan dengan sadar, dipandang dari sudut baik dan buruk.
Secara singkat dapat diartikan bahwa nilai sastra merupakan segala sesuatu yang positif yang berguna bagi kehidupan manusia. Nilai ini hanya dapat diperoleh pembaca jika karya yang dibaca menyentuh perasaanya. Dalam pengertian ini, nilai adalah sesuatyanberhubungan dengan etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), dan estetika (indah dan jelek).
















BAB III
METODE PENELITIAN

3.1    Bentuk dan Strategi Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan informasi kualitatif dengan cara mendeskripsikan secara detil dan cermat keadaan, gejala, fenomena, serta unsur- unsur sebagai keutuhan struktur dalam teks-teks yang menjadi objek penelitian. Sementara itu, strategi penelitian yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi terhadap dokumen atau arsip. Menganalisis data yang diperoleh dari noveDivergent  karya  Veronica Roth dan  The Hunger Games karya Suzzane Collins. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan intertekstualitas, yaitu untuk mengetahui hubungan antara novel Divergent  karya  Veronica Roth dan  The Hunger Games karya Suzanne Collins.

3.2    Data dan Sumber  Data
Data merupakan semua informasi yang disediakan oleh alam yang harus dicari dan dikumpulkan oleh peneliti sesuai dengan masalah yang dihadapi. Data merupakan bagian yang penting dalam penelitian. Oleh karena itu, berbagai hal yang merupakan bagian dari keseluruhan proses pengumpulan data harus benar- benar dipahami oleh setiap peneliti. Adapun data dalam penelitian ini berupa data lunak yang berwujud kata, kalimat, ungkapan yang terdapat dalam novel Divergent  karya  Veronica Roth dan  The Hunger Games karya Suzanne Collins.
Sumber data adalah tempat data itu diambil atau diperoleh. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah novel Divergent  karya  Veronica Roth yang diterbitkan oleh Gramedia (Jakarta) pada tahun 2011 dan novel The Hunger Games karya Suzanne Collins yang diterbitkan oleh Gramedia (Jakarta) pada tahun 2008.

3.3          Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data yang berupa kata, kalimat, ungkapan yang  terdapat  dalam  novel  Divergent  karya  Veronica Roth dan  The Hunger Games karya Suzanne Collins maka teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan teknik pustaka,  yaitmenggunakan sumber-sumber tertulis untuk  memperoleh data. Sumber-sumber tersebut dapat berupa majalah, surat kabar, karya sastra, karya ilmiah, dan sebagainya. Adapun langkah-langkah pengumpulan datanya, yaitu: (1) membaca novel Divergent dan The Hunger Games secara berulang-ulang; dan (2) mencatat kata, kalimat, ungkapan yang berkaitan dengan struktur novel, yang menggambarkan adanya persamaan dan perbedaan dalam kedua novel, dan nilai pendidikan yang terdapat dalam kedua novel.

3.4          Teknik Analisis Data
Teknianalisis  yandigunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  model analisis mengalir (flow model of analysis) yang meliputi tiga komponen, yaitu:
a.       Reduksi Data (Data Reduction)
Pada bagian ini, langkah yang dilakukan yaitu mencatat data yang diperoleh dalam bentuk uraian secara rinci. Data yang diambil berupa kata, kalimat, ungkapan yang terdapat dalam novel Divergent  karya  Veronica Roth dan  The Hunger Games karya Suzanne Collins yang mengungkapkan informasi tentang struktur kedua novel tersebut, yang meliputi: tema, plot/alur, penokohan dan perwatakan, setting/latar, point of view/sudut pandang pengarang, dan amanat  serta nilai pendidikan dalam kedua novel tersebut. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan itulah yang menjadi data penelitian ini.

b.      Sajian Data (Data Display)
Data yang telah terkumpul dikelompokkan dalam beberapa bagian sesuai dengan jenis permasalahannya agar mudah untuk dianalisis. Langkah ini telah memasuki analisis data yang kemudian dijabarkan dan dibandingkan antara data yang satu dan data yang lain. Hal ini bertujuan untuk menemukan persamaan   da perbedaan   kedua   nove sert untuk   menemuka nilai pendidikan yang terkandung  dalam kedua novel tersebut.

c.       Penarikan Simpulan (Conclution Drawing)
Pada tahap ini peneliti telah memasuki tahap pembuatan simpulan dari data  yang  teladiperoleh  sejak  awapenelitian.  Simpulan  ini  masih bersifat sementara maka akan tetap diverifikasi (diteliti kembali tentang kebenaran laporan) selama penelitian berlangsung. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini, yaitu data yang diperoleh dari novel Divergent  karya  Veronica Roth dan  The Hunger Games karya Suzanne Collins disimpulkan.




















DAFTAR PUSTAKA


Collins, Suzanne. 2008. The Hunger Games. Jakarta: Gramedia
Jabrohim dan Wulandari.   2001.   Metodologi   Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Pradopo. Rahmat Djoko.  1995.  Beberapa  Teori  Sastra,  Metode  Kritik,
dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Roth, Veronica. 2008. Divergent. Jakarta: Gramedia
Sayuti. 1997. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Sugono, Dendy.  2003.  Buku  Praktis  Bahasa  Indonesia  2.  Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sulaeman, Munandar 1998. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Bandung:
Refika Aditama.
Waluyo. 2006.  Pengkajian  dan  Apresiasi  Prosa  Fiksi.  Surakarta: Sebelas

Maret University Press.

1 komentar:

  1. Mas, kalau boleh tau nama lengkapnya siapa? Dan tahun brp anda melakukan penelitian ini? Mau saya masukkan ke proposal dalam kajian pustaka saya. Terima kasih sebelumnya :D

    BalasHapus