BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Teori Psikologi Sigmund Freud
Menurut freud kehidupan jiwa individu memiliki tiga tingkat kesadaran,
yakni: sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious).
Pada tahun 1923 freud mengajukan teori kepribadian dengan struktur id,
ego dan superego. Struktur baru ini tidak menggantikan struktur lama, tetapi
melengkapi gambaran mental terutama dalam fungsi dan tujuannya. Freud berpendapat
bahwa tingkah laku manusia merupakan produk interaksi dari ketiga
sistem, yaitu : id, ego dan superego. Artinya, bahwa setiap tingkah laku
itu ada unsur nafsu (dorongan), unsur kesadaran nyata dan unsur
pengendalian : terlepas benar atau salah, baik atau buruk ( fudyartanta,
2006:102). Ketiga sistem pembentuk kepribadian manusia tersebut mempunyai
fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dinamisme dan mekanisme yang berbeda.
1. Id
Id adalah sistem kepribadian yang paling dasar, sistem yang di dalamnya
terdapat naluri-naluri bawaan. Id adalah sistem yang bertindak sebagai penyedia
atau penyalur energi yang dibutuhkan oleh ego dan superego untuk operasi-operasi
atau kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Id beroperasi berdasarkan prinsip
kenikmatan (pleasure principle), yaitu: berusaha memperoleh kenikmatan
dan menghindari rasa sakit. Id adalah satu-satunya komponen kepribadian
yang hadir sejak lahir. Sebagai
contoh, peningkatan rasa lapar atau haus harus menghasilkan upaya segera untuk
makan atau minum. Id ini sangat penting awal dalam hidup, karena itu memastikan
bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan
menangis sampai tuntutan id terpenuhi. Id adalah sumber segala energi psikis,
sehingga komponen utamanya adalah kepribadian.
2. Ego
Ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu
kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan
prinsip
kenyataan (reality principle). Ego berkembang dari id agar individu
mampu menangani realita; sehingga ego beroperasi mengikuti prinsip realita. Ego
berusaha memperoleh kepuasan yang dituntut id dengan mencegah terjadinya
tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukan objek yang nyata-nyata
dapat memuaskan kebutuhan. Menurut freud, ego terbentuk pada struktur
kepribadian individu sebagai hasil kontak dengan dunia luar. Adapun proses yang
dimilki dan dijalankan ego sehubungan dengan upaya memuaskan kebutuhan atau
mengurangi ketegangan individu adalah proses sekunder. Dengan proses
sekundernya ini, ego memformulasikan rencana bagi pemuasan kebutuhan dan
menguji apakah rencana tersebut bisa dilaksanakan atau tidak. Dengan demikian,
ego bagi individu tidak hanya bertindak sebagai penunjuk kepada kenyataan,
tetapi juga berperan sebagai penguji kenyataan (reality tester). Dalam
memainkan peranannya ini ego melibatkan fungsi psikologis yang tinggi, yakni
fungsi kognitif dan intelektual. Dalam struktur kepribadian, ego mempunyai
peranan sebagai eksekutif (pelaksana) dari kepribadian.
3. Superego
Superego adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan
aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik buruk). Superego adalah
kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip
idealistik (idealistic principle) sebagai lawan dari prinsip kepuasan id
dan prinsip realistik ego. Superego berkembang dari ego, dan seperti ego dia
tidak mempunyai energi sendiri. Sama dengan ego, superego beroperasi di tiga
daerah kesadaran. Menurut freud, superego terbentuk melalui internalisasi
nilai-nilai atau aturan-aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan,
berpengaruh, atau berarti bagi individu tersebut seperti orang tua dan guru. Adapun
fungsi utama dari superego adalah: (a) sebagai pengendali dorongan-dorongan atau
impuls-impuls naluri id agar impuls-umpuls tersebut disalurkan dalam cara atau
bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat, (b) mengarahkan ego pada
tujuan-tujuan yang sesuai dengan moral ketimbang dengan kenyataan, (c)
mendorong individu mencapai kesempurnaan. Aktivitas superego dalam diri
individu, terutama apabila aktivitas ini bertentangan atau terjadi konflik
dengan ego, akan muncul dalam bentuk emosi-emosi tertentu seperti perasaan
bersalah dan penyesalan. Sikap-sikap tertentu dari individu seperti observasi
diri, koreksi atau kritik diri, juga bersumber pada superego.
B.
Cerpen Bola Lampu Karya Asrul Sani
1.
Identitas Cerpen
Judul : Bola Lampu
Pengarang : Asrul Sani
Tentang
Pengarang : Asrul Sani lahir di
Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1927. Meraih gelar Doktorandus di bidang
Kedokteran Hewan pada tahun 1956. Antara 1951-1953 sempat belajar di akademi
Seni Drama di Amsterdam, Belanda, lalu belajar film di University of Southern
California, Amerika tahun 1955-1956.
2.
Cerpen
Bola Lampu
Beberapa
waktu yang lalu seorang sahabat menceritakan cerita sebagai berikut kepada
saya: Pernah sekali saya memperoleh penyakit cinta lampu dan cinta
matahari. Cinta matahari ini tidak berapa lama, hanya seminggu, yaitu sewaktu
saya masih bekerja antara pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore. Kalau pukul 1
memperoleh waktu beristirahat seperti untuk makan tengah hari, terlebih dahulu
saya memandang mengap-mengap ke langit seperti ikan di daratan, baru saya pergi
makan. Penyakit cinta ini demikian mendalamnya, sehingga sesudah seminggu saya
tidak tahan lagi, lalu minta berhenti. Sekarang saya mengeluh kepanasan kalau berjalan dalam cahaya
matahari. Lagi pula ia tidak memberi akibat apa-apa kepada saya. Penyakit
cinta lampu saya lebih berat: Dan saya tidak menyangka-nyangka bahwa ia akan
berkesudahan dengan kecewa, geram, malu. Begini jalannya. Saya tinggal
pada suatu keluarga orang baik-baik yang bercita-cita masuk surga dan yang suka
menolong orang supaya mendapat balasan jasa. Karena baiknya mereka ini, maka
saya telah dianggap anggota keluarga — moga-moga Tuhan merahmati mereka dengan
jalan memberi mereka rumah yang lebih besar, lebih banyak kursi dan meja,
tempat tidur, dan sebagainya. Nah, karena saya telah masuk anggota keluarga,
sudah tentu saja harus ikut sakit senang. Sekali
datang seorang anak muda hendak membayar makan. Ini adalah suatu celaka buat
saya. Karena anak muda ini — ia perlente — memerlukan lampu untuk melancung dan
untuk tidur (ia tidak memerlukan lampu antara pukul 6 dan pukul 12 malam).
Akibatnya ialah lampu yang ada dalam kamar saya harus diperkecil, diperkecil
lagi, hingga jadinya terlalu amat kecil. Sudah itu timbul pula semacam kemauan
yang tidak tertahan-tahan: hendak membaca, hendak menulis, hendak mengarang,
pendeknya hendak segala-galanya, asal saja untuk itu diperlukan lampu yang
terang. Nah, sejak itulah saya mendapat penyakit cinta lampu. Ada-ada saja. Waktu
itu, kalau saya melihat lampu terang, terus timbul rasa sentimentil, agak-agak
rindu dendam dalam hati saya. Kepada orang saya tanyakan, kalau-kalau mereka
ada yang mempunyai lampu yang terang di rumah. Kalau dijawab ada, saya terus
iri hati. Inilah orang yang paling berbahagia. Saya maklum apa sebabnya
orang-orang yang tinggal di Jalan Madura misalnya berbahagia besar
kelihatannya. Semata-mata karena mempunyai lampu yang terang, paling kurang 60
lilin. Filsafat hidup saya berputar sekeliling lampu. Lampu mengenakkan makan,
menyehatkan otak, dan barangkali juga memperenak tidur. Dalam
pada itu saya berkenalan dengan seorang gadis yang baik, yang cantik, dan yang
menurut sahabat saya tidak begitu "dingin". Perkenalan ini baik
jalannya, sehingga saya berjanji akan datang sekali-sekali ke rumahnya. Rumahnya
baik, lampunya besar hingga saya katakan kepadanya bahwa saya iri hati benar
melihat kebahagiaannya. Lalu ia bertanya mengapa begitu benar. Saya katakan
bahwa saya tidak mempunyai lampu sebesar punya mereka. Ayahnya berkata:
"Datang-datanglah kemari kalau begitu. Di sini lampu terang." Sesudah
itu saya datang sekali seminggu. Gadis itu makin lama makin cantik
kelihatannya, makin banyak aksi, makin "panas". Saya makin kerap kali
datang, sampai tiap malam. Setiap datang saya membawa buku untuk dibaca —
sampai sekarang belum juga tamat. Akhimya saya rasa bahwa saya datang ke rumah
itu bukan karena melihat lampu terang. Saya datang karena dia ada di situ.
Tetapi meskipun begitu, setiap, saya datang saya berkata: "Ah, alangkah
senangnya hati jika mempunyai lampu seterang itu." Ia
tersenyum mendengar perkataan saya. Apa maksudnya, entahlah. Penyakit saya
tidak hilang. Dahulu saya berpenyakit "cinta lampu". Sekarang nama penyakit
saya cinta "bola lampu". Suatu kali saya mendapat kiriman dari gadis sahabat saya itu.
Bungkusannya besar dan bagus dan di sampingnya ada lagi sepucuk surat bersampul
biru. Waktu bungkusan itu saya buka, saya temui di dalamnya bola lampu 60
lilin. Hilang akal saya melihat bola lampu itu, Apa maksudnya? Dalam suratnya
tertulis, "Sahabat senang benar hati saya, dapat mengirim engkau bola
lampu ini". Sekarang saya tahu maksudnya. Mereka di sana telah bosan
melihat tampang saya yang datang setiap malam. Sekarang dikirimkannya bola
lampu, supaya saya jangan lagi "rindu lampu". Sebetulnya kalimat itu
harus berbunyi, "Sahabat ..senang benar hati saya dapat mengirim engkau
bola lampu ini, sehingga engkau. tidak punya alasan lagi untuk menyatakan
senang hati melihat lampu dan mulai saat ini tidak usah lagi engkau
datang-datang". Nah, ini dia. Celaka tiga belas telah datang. Semenjak
itu tidak pemah lagi saya datang ke rumah gadis itu. Kamar saya tetap gelap.
Bola yang 60 lilin itu juga tidak -saya pasang, karena jumlah watt untuk
menghidupkannya tidak cukup. Demikianlah, karena tak ada lampu, saya beroleh penyakit cinta
lampu. Lalu saya beroleh kiriman bola lampu. Karena kiriman ini saya kehilangan
"bola lampu" yang lain, yang menurut pikiran saya tidak akan kurang
dari 200 lilin cahayanya. Dalam cahaya yang besar ini rasanya akan dapat saya
mengarang sebuah cerita yang 300 halaman tebalnya.
C.
Unsur Intsinsik dan Ekstrinsik Cepen Bola Lampu Karya
Asrul Sani
1.
Unsur Intrinsik
a.
Tema
Cerpen Bola Lampu karya Asrul Sani bertemakan tentang seseorang yang mempunyai
ambisi terhadap suatu hal yang ingin segera diwujudkannya. Ambisi atau keinginan
yang menggebu telah membuatnya menjadi orang yang terlalu berangan-angan.
b.
Tokoh
Cerpen “Bola Lampu” karya Asrul Sani
menggunakan bentuk penokohan “ Aku “ tokoh
utama. Teknik ini mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang
dialaminya, baik yang bersifat batiniah dalam dirinya sendiri maupun fisik. Tokoh “ aku “ dalam teknik ini
disebut sebagai tokoh utama,first-person central yang tentunya praktis akan
menjadi tokoh protagonis. Dalam cerpen ini tidak ada satu tokoh pun yang
memiliki nama atau yang disebut namanya. Siapa yang menjadi tokoh sahabatpun
tidak diketahui siapa, dia tidak beruntung dicatat sejarah. Begitu pun dengan
tokoh lainnya, seperti gadis cantik, ayah dari gadis cantik dan tokoh lain yang
terlibat dalam cerpen ini.
c.
Alur
Cerpen ini menggunakan alur mundur, peristiwa-peristiwa yang
menjadi bagian penutup diutarakan terlebih dahulu baru menceritakan
peristiwa-peristiwa pokok melalui kenangan atau masa lalu salah satu tokoh. Namun dalam
cerpen ini menggunakan model menceritakan kembali kisah seorang tokoh atau yang
biasa disebut flashback, seperti
kutipan dibawah ini.
Semenjak
itu tidak pemah lagi saya datang ke rumah gadis itu. Kamar saya tetap gelap.
Bola yang 60 lilin itu juga tidak -saya pasang, karena jumlah watt untuk menghidupkannya
tidak cukup. Demikianlah, karena tak ada lampu, saya beroleh penyakit cinta
lampu. Lalu saya beroleh kiriman bola lampu. Karena kiriman ini saya kehilangan
"bola lampu" yang lain, yang menurut pikiran saya tidak akan kurang
dari 200 lilin cahayanya.
d.
Latar
1)
Latar Tempat
Latar tempat dalam cerpen ini tidak digambarkan
secara spesifik. Namun ada beberapa bagian yang menyiratkan dimana terjadinya
peristiwa. Seperti kutipan dibawah ini:
(1). Saya maklum apa sebabnya orang-orang yang
tinggal di JalanMadura misalnya berbahagia besar kelihatannya. Semata-mata karena mempunyai lampu yang
terang, paling kurang 60 lilin
(2). Rumahnya
baik, lampunya besar hingga saya katakan kepadanya bahwa saya iri hati benar
melihat kebahagiaannya. Lalu ia bertanya mengapa begitu benar. Saya katakan
bahwa saya tidak mempunyai lampu sebesar punya mereka. Ayahnya berkata:
"Datang-datanglah kemari kalau begitu. Di sini lampu terang." Sesudah
itu saya datang sekali seminggu.
Berdasarkan dua
kutipan dari cerpen tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa terjadi
di rumah seseorang di sekitar jalan
Madura atau tidak jauh dari jalan Madura.
2)
Latar Waktu dan Suasana
Latar waktu yang
digunakan dalam cerpen ini adalah pada malam hari, dengan suasana gelap tanpa
pencahayaan, sperti kutipan dibawah ini.
Kamar saya tetap gelap. Bola yang 60 lilin itu juga tidak -saya
pasang, karena jumlah watt untuk menghidupkannya tidak cukup.
e.
Sudut Pandang
Sudut
pandang yang digiring Asrul sani untuk menemukan jalan cerita dari cerpen ini
adalah jenis sudut pandang persona pertama. “aku” menggunakan “aku” sebagai
tokoh tambahan, dalam sudut pandang persona pertama tokoh “aku” muncul bukan
sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan, first-person peripherl. Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita
kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang dikisahkan dibiarkan mengisahkan
sendiri pengalamannya. Seperti kutipan dibawah ini.
(1). Beberapa
waktu yang lalu seorang sahabat menceritakan cerita sebagai berikut kepada
saya: Pernah sekali saya memperoleh penyakit cinta lampu dan cinta
matahari. Cinta matahari ini tidak berapa lama, hanya seminggu, yaitu sewaktu
saya masih bekerja antara pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore.
f.
Amanat
Setiap
individu akan melewati proses kehidupan masing-masing dan tidak akan pernah sama dengan proses yang
dijalani orang lain. Menjadi seseorang yang ambisius hanya membuat kita sebagai
manusia yang kurang pandai bersyukur.
2.
Unsur Ekstrinsik
a.
Latar Belakang Penciptaan
Karya sastra pada hakikatanya merupakan buah hasil dari respon pengarang terhadap lingkungan sekitranya. Pada penciptaan cerpen Bola Lampu menggambarkan kehidupan
manusia yang hanya menyebabkan penderitaannya sendiri. Karya-karya
Asrul Sani melukiskan betapa pekanya ia terhadap sesama dan lingkungan sekitar.
b.
Kondisi Masyarakat pada Saat Karya Sastra
Diciptakan
Tahun 1942-1945 adalah masa pergolakan politik yang sangat pesat sehingga
melahirkan angkatan baru yakni angkatan 45. Angkatan 45 merupakan seuatu
angkatan yang berada pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Pada angkatan
45 ini terjadi suatu perjuangan rakyat Indonesia yang berimplikasi pada
kemerdekaan Indonesia.
c.
Pandangan hidup
pengarang/latar belakang
Asrul sani berasal dari keluarga yang terpandang. Ayahnya adalah
seotang raja yang bergelar “Sultan Merah Sani Syair Almasyah Yang Dipertuan
Sakti RaoMapat”
meski membenci Belanda, ayahnya sangat menggemari musik klasik. Oleh karena itu
sebelum bersekolah ia
sudah mendengar karya-karya terkenal dari Schubert. Ibunya adalah seorang
wanita sederhana tetapi sangat memperhatikan pendidikannya. Semenjak kecil ia
dimanjakan oleh
ibunya dengan buku-buku cerita ternama, tidak salah jika melahirkan
karya-karya sastra yang besar meskipun ia adalah seorang dokter hewan.
D.
Struktur Keperibadian (Id, Ego, dan Superego) tokoh
“Aku” Cerpen Bola Lampu Karya Asrul Sani
1.
Id
Ada-ada
saja. Waktu itu, kalau saya melihat lampu terang, terus timbul rasa
sentimentil, agak-agak rindu dendam dalam hati saya. Kepada orang saya
tanyakan, kalau-kalau mereka ada yang mempunyai lampu yang terang di rumah.
Kalau dijawab ada, saya terus iri hati.
Kutipan di atas menunjukkan
betapa kuatnya peran id dalam mempengaruhi tokoh “aku”. Id berusaha mendapatkan
kesenangan yaitu berupa kepuasan hasrat biologis. Tokoh “aku” kesal karena ia
ingin memiliki lampu di rumahbya. Id dalam diri tokoh aku membawa dirinya ke
dalam angan-angan mendapatkan lampu terang seperti yang diidamkannya .Selain
itu tokoh “aku” merasa iri ketika seseoarang yang ia tanyakan mempunyai lampu .
Hal ini menunjukkan bahwa yang berperan kuat dalam dirinya saat itu adalah
aspek idnya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa tokoh aku memiliki karakter yang mudah
kesal ketika keinginannya tidak dapat tercapai.
2.
Ego
Filsafat
hidup saya berputar sekeliling lampu. Lampu mengenakkan makan, menyehatkan
otak, dan barangkali juga memperenak tidur. Dalam pada itu saya
berkenalan dengan seorang gadis yang baik, yang cantik, dan yang menurut
sahabat saya tidak begitu "dingin". Perkenalan ini baik jalannya,
sehingga saya berjanji akan datang sekali-sekali ke rumahnya. Rumahnya baik, lampunya besar hingga saya
katakan kepadanya bahwa saya iri hati benar melihat kebahagiaannya. Lalu ia
bertanya mengapa begitu benar. Saya katakan bahwa saya tidak mempunyai lampu
sebesar punya mereka. Ayahnya berkata: "Datang-datanglah kemari kalau
begitu. Di sini lampu terang." Sesudah itu saya datang sekali seminggu.
Gadis itu makin lama makin cantik kelihatannya, makin banyak aksi, makin
"panas".Saya makin kerap kali datang, sampai tiap malam.
Secara Ego
tokoh “aku” berkarakter ambisius. Berdasarkan kutipan
diatas id nya berusaha mendapatkan
kesenangan, namun tidak didapatkannya. Oleh sebab itu, ia berusaha
menghilangkan dan menghindari ketegangan dalam dirinya dengan mendatangi rumah
seseorang yang mempunyai lampu terang seperti yang diidamkannya untuk mengobati
rasa ingin memilikinya terhadap lampu tersebut, di rumah yang dikunjunginya
itu, ia bisa memuaskan hasrat untuk
menikmati terangnya lampu. Usahanya ini dipengaruhi oleh aspek egonya. Aspek
ego mengarahkan jalan yang ditempuh, memilih cara-cara menghindari ketegangan
dalam diri tokoh “aku”. Namun, hal ini tidak lantas menghilangkan
ketidaknyamanan dalam dirinya. Tokoh “aku” tetap berhasrat untuk memiliki lampu
yang dipasang di rumahnya, dengan melihat atau menikmati lampu di rumah orang lain
baginya sekedar pemuas hasrat sementara.
3.
Superego
Suatu kali saya mendapat kiriman dari gadis sahabat saya itu.
Bungkusannya besar dan bagus dan di sampingnya ada lagi sepucuk surat bersampul
biru. Waktu bungkusan itu saya buka, saya temui di dalamnya bola lampu 60
lilin. Hilang akal saya melihat bola lampu itu, Apa maksudnya? Dalam suratnya
tertulis, "Sahabat senang benar hati saya, dapat mengirim engkau bola
lampu ini". Sekarang saya tahu maksudnya. Mereka di sana telah bosan
melihat tampang saya yang datang setiap malam. Sekarang dikirimkannya bola
lampu, supaya saya jangan lagi "rindu lampu". Sebetulnya kalimat itu
harus berbunyi, "Sahabat.. senang benar hati saya dapat mengirim engkau
bola lampu ini, sehingga engkau. tidak punya alasan lagi untuk menyatakan
senang hati melihat lampu dan mulai saat ini tidak usah lagi engkau
datang-datang". Nah, ini dia. Celaka tiga belas telah datang. Semenjak
itu tidak pemah lagi saya datang ke rumah gadis itu. Kamar saya tetap gelap.
Bola yang 60 lilin itu juga tidak -saya pasang, karena jumlah watt untuk
menghidupkannya tidak cukup.
Berdasarkan kutipan cerpen
diatas aspek super egonya mulai berperan menyadarkan tokoh “aku”. Super ego
menentang id, dalam diri tokoh aku terjadi pergumulan antara id dan
super egonya. Id hanya mementingkan kesenangan, sementara super ego selalu
mempertimbangkan aspek moral. Ketika pemuas hasratnya hilang, ia bukan mencari
pemuas hasrat lain melainkan tersadar bahwa hasratnya hanya membawanya kearah
ambisi yang sia-sia. Tokoh “aku” sadar bahwa apa yang dilakukannya membuat
orang disekitarnya dirugikan. Ia sering berkunjung ke rumah orang lain untuk
menikmati lampu terang, karena ia sering mengatakan mersa iri terhadap lampu
orang tersebut, iapun diberikan lampu seprerti keinginannya. Pertentangan id
dan super ego mulai muncul karena ketika hasratnya memiliki lampu terang
tercapai ia tidak merasa bahagia. Hal ini dikarenakan kesadarannya mengolah
pertanda bahwa lampu yang didapatkannya dari orang lain tersebut adalah sebuah pesan agar ia tidak datang ke rumah orang
tersebut. Hal tersebut memunculkan anggapan bahwa orang yang sering
didatanginya untuk merasakan cahaya lampu merasa dirugikan. Peristiwa ini
menunjukkan bahwa tokoh “aku” memiliki karakter ambisius. Namun tetap mempunyai
kontrol terhadap hasratnya.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Karya sastra
memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Misalnya melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya,
masyarakat dapat memahami fenomena-fenomana yang terjadi
didalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike. Pendekatan psikologi sastra
memiliki kelebihan karena lebih fokus mengkaji
aspek perwatakan. Karya sastra merupakan
buah hasil respon pengarang terhadap lingkungan sekitarnya. Cerpen Bola Lampu
karya Asrul Sani tidak semata-semata lahir dari kekosongan budaya melainkan
bertujuan untuk mengangkat nilai-nilai dan fenomena-fenomana dalam masyarakat
yang disebabkan oleh pola hidup dan tingkah laku individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar