Prasasti Bahasa dan Sastra Indonesia

Kamis, 27 November 2014

Pengimajinasian Pusi Karawang-Bekasi Karya Chairil Anwar



KARAWANG-BEKASI
(CHAIRIL ANWAR)

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “merdeka” dan angkat senjata lagi,
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegak hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa
Memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang dan Bekasi

(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957

1.      Imajinasi Puisi “Karawang-Bekasi” Karya Chairil Anwar
Pada bait pertama, Chairil Anwar menuliskan syairnya tentang kejadian yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Dia melihat berbagai kejadian sepanjang sungai Bekasi dan sepanjang jalan antara Karawang-Bekasi, di mana ribuan anak-anak muda tewas silih berganti oleh penjajah. Ribuan orang terkapar di sepanjang jalan Karawang Bekasi dalam perjuangan membela tanah air tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi” adalah penggambaran nasib orang-orang yang tewas di sepanjang jalan tersebut yang tak punya daya dan upaya lagi untuk menghadapi penjajah.”Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami / terbayang kami maju dan mendegap hati ?” mengisyaratkan pesan terhadap pembaca puisinya bahwa pembaca hendaklah membayangkan peristiwa tragis pada waktu itu, suara-suara kesakitan para pemuda dan bagaimana para pemuda tewas dalam melawan penjajahan.
            Pada bait kedua, merupakan curahan hatinya pada pembaca puisinya ataupun siapa saja yang mengerti apa yang sedang dirasakannya. Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi” Narasi puisi Karawang-Bekasi terlantun darinya ketika ia berjalan-jalan di jalan ibu kota pada malam hari. Saat itu dia batuk dan sangat pucat, namun ia tak peduli. Dia selalu teringat dengan berbagai kejadian sepanjang sungai Bekasi dan sepanjang jalan antara Karawang-Bekasi yang pernah disaksikannya sendiri. “Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.”
Orang-orang yang tewas di sepanjang jalan Karawang-Bekasi kebanyakan para pemuda yang memberontak terhadap ketidak adilan penjajah”
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya, apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara Belanda di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban pembantaian.
“kami sudah beri kami punya jiwa” menggambarkan sebuah pengorbanan seluruh jiwa raga para pejuang pada masa itu, Tanpa memikirkan rasa takut. Memiliki semangat membara yang berkobar-kobar meskipun nyawa adalah taruhan satu-satunya. “kami cuma tulang-tulang berserakan // Tapi adalah kepunyaanmu // kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan” Chairil dalam sajak ini seolah-olah menyampaikan penderitaan yang paling dalam para pejuang saat itu, tulang-tulang yang berserakan tapi adalah kepunyaanmu dan kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai sangat menggugah kita para pembaca sajak ini, sebetapa menderitanya saat itu, betapa sakitnya menahan luka-luka disekujur tubuh, betapa sepenuh jiwanya sang pejuang untuk melawan musuh, namun merekalah yang berkuasa atas semua itu. 
            Pada saat itu kematian bukanlah hal yang mungkin bisa ditunda-tunda lagi, melainkan suatu kenyataan yang telah hadir di depan mata para pejuang. Tiap-tiap jiwa akan merasakan mati, namun semua umat manusia akan diuji dengan keburukan dan kebaikan sebagai suatu cobaan. Begitu juga dengan para pejuang kita, mereka menghadapi maut begitu buruknya, begitu pahitnya dengan tujuan membela negara kita tercinta ini.
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
            Sajak ini sengaja dibuat oleh Chairil sangatlah menyentuh hati para pembaca apabila meresapinya dalam-dalam. “kenang-kenanglah kami” beginilah luapan hati Chairil ketika seolah-olah menyampaikan jeritan para pejuang, membalas jerih payah para pahlawan kita. Sudah selayaknya kita sebagai orang-orang yang telah menikmati hasil jerih payah para pejuang, untuk mengenang dan menghargai jasa-jasa para pahlawan.
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
            Puncak dalam puisi ini juga diperlihatkan pada Chairil pada sajak diatas, “kami sekarang mayat” Disini terlihat makna mayat yang secara sifatnya tidak dapat berbicara, Tetapi oleh Chairil mayat tersebut seolah-olah dapat berbicara seperti orang hidup. Mayat yang dapat berbicara dan menyentuh hati para pembicara dan membisiki telinga pembaca untuk mengahargai, memberikan penghargaan yang selayaknya untuk “kami si pejuang”.
 “Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian pada sajak ini seperti mengamanatkan kepada diri kita sebagai generasi muda untuk harus menghargai perjuangan para pahlawan, bekerja keras untuk mencapai cita-cita yang kita inginkan, semangat perjuanganpun harus menggelora, memiliki sikap berani dan pantang menyerah, tidak lupa untuk selalu diiringi doa kepada Tuhan.

2.      Kata/Frasa/Kalusa/Kalimat yang bermakna Konotatif dan Denotaif
Denotatif
Konotatif
Tidak bisa teriak “merdeka” dan angkat senjata lagi
terbaring antara Karawang-Bekasi
siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Kami mati muda
kami maju dan berdegak hati
Kenang, kenanglah kami
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami sekarang mayat
Kami sudah coba apa yang kami bias

Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang berserakan

jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

tidak untuk apa-apa

Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Teruskan, teruskanlah jiwa kami

Menjaga Bung Karno/Menjaga Bung Hatta/Menjaga Bung Syahrir

Berilah kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Beribu kami terbaring antara Karawang dan Bekasi
3.      Struktur Gramatikal Puisi “Karawang-Bekasi” Karya Chairil Anwar
frasa
antara Karawang-Bekasi
angkat senjata
jam dinding
mati muda
tinggal tulang
di malam sepi

di garis batas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar