KARAWANG-BEKASI
(CHAIRIL ANWAR)
(CHAIRIL ANWAR)
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “merdeka” dan angkat senjata lagi,
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegak hati?
Kami bicara padamu
dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa
yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa
Memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa
Memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma
tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang berserakan
Ataukah jiwa kami
melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu
dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang dan Bekasi
(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang dan Bekasi
(1948)
Brawidjaja,
Jilid 7, No 16,
1957
1. Imajinasi
Puisi “Karawang-Bekasi” Karya Chairil Anwar
Pada bait pertama,
Chairil Anwar menuliskan syairnya tentang kejadian yang ia lihat dengan mata
kepalanya sendiri. Dia melihat berbagai kejadian sepanjang sungai Bekasi dan
sepanjang jalan antara Karawang-Bekasi, di mana ribuan anak-anak muda tewas
silih berganti oleh penjajah. Ribuan orang terkapar di sepanjang jalan Karawang
Bekasi dalam perjuangan membela tanah air “tidak bisa teriak
"Merdeka" dan angkat senjata lagi” adalah
penggambaran nasib orang-orang yang tewas di sepanjang jalan tersebut yang tak
punya daya dan upaya lagi untuk menghadapi penjajah.”Tapi siapakah yang
tidak lagi mendengar deru kami
/ terbayang kami maju dan mendegap hati ?” mengisyaratkan
pesan terhadap pembaca puisinya bahwa pembaca hendaklah membayangkan peristiwa
tragis pada waktu itu, suara-suara kesakitan para pemuda dan bagaimana para
pemuda tewas dalam melawan penjajahan.
Pada bait kedua, merupakan curahan
hatinya pada pembaca puisinya ataupun siapa saja yang mengerti apa yang sedang
dirasakannya. “Kami bicara padamu dalam hening di
malam sepi” Narasi puisi Karawang-Bekasi terlantun darinya
ketika ia berjalan-jalan di jalan ibu kota pada malam hari. Saat itu dia batuk
dan sangat pucat, namun ia tak peduli. Dia selalu teringat dengan berbagai
kejadian sepanjang sungai Bekasi dan sepanjang jalan antara Karawang-Bekasi
yang pernah disaksikannya sendiri. “Kami
mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.” Orang-orang yang tewas di sepanjang jalan Karawang-Bekasi kebanyakan para pemuda yang memberontak terhadap ketidak adilan penjajah”
Kenang, kenanglah kami.” Orang-orang yang tewas di sepanjang jalan Karawang-Bekasi kebanyakan para pemuda yang memberontak terhadap ketidak adilan penjajah”
Kami sudah
beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya, apabila kita
berdiri di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara Belanda di
Monumen Rawagede, Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai
kisah pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban pembantaian.
“kami sudah beri kami punya jiwa” menggambarkan
sebuah pengorbanan seluruh jiwa raga para pejuang pada masa itu, Tanpa
memikirkan rasa takut. Memiliki semangat membara yang berkobar-kobar meskipun
nyawa adalah taruhan satu-satunya. “kami cuma tulang-tulang berserakan //
Tapi adalah kepunyaanmu // kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang
berserakan” Chairil dalam
sajak ini seolah-olah menyampaikan penderitaan yang paling dalam para pejuang
saat itu, tulang-tulang yang berserakan tapi adalah kepunyaanmu dan kaulah lagi
yang tentukan nilai-nilai sangat menggugah kita para pembaca sajak ini,
sebetapa menderitanya saat itu, betapa sakitnya menahan luka-luka disekujur
tubuh, betapa sepenuh jiwanya sang pejuang untuk melawan musuh, namun merekalah
yang berkuasa atas semua itu.
Pada
saat itu kematian bukanlah hal yang mungkin bisa ditunda-tunda lagi, melainkan
suatu kenyataan yang telah hadir di depan mata para pejuang. Tiap-tiap jiwa
akan merasakan mati, namun semua umat manusia akan diuji dengan keburukan dan
kebaikan sebagai suatu cobaan. Begitu juga dengan para pejuang kita, mereka
menghadapi maut begitu buruknya, begitu pahitnya dengan tujuan membela negara
kita tercinta ini.
Kami tidak
tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Sajak
ini sengaja dibuat oleh Chairil sangatlah menyentuh hati para pembaca apabila
meresapinya dalam-dalam. “kenang-kenanglah kami” beginilah luapan hati
Chairil ketika seolah-olah menyampaikan jeritan para pejuang, membalas jerih
payah para pahlawan kita. Sudah selayaknya kita sebagai orang-orang yang telah
menikmati hasil jerih payah para pejuang, untuk mengenang dan menghargai
jasa-jasa para pahlawan.
Kami
sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Puncak dalam puisi ini juga
diperlihatkan pada Chairil pada sajak diatas, “kami
sekarang mayat” Disini
terlihat makna mayat yang secara sifatnya tidak dapat berbicara, Tetapi oleh
Chairil mayat tersebut seolah-olah dapat berbicara seperti orang hidup. Mayat
yang dapat berbicara dan menyentuh hati para pembicara dan membisiki telinga
pembaca untuk mengahargai, memberikan penghargaan yang selayaknya untuk “kami si pejuang”.
“Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian” pada sajak ini seperti
mengamanatkan kepada diri kita sebagai generasi muda untuk harus menghargai
perjuangan para pahlawan, bekerja keras untuk mencapai cita-cita yang kita
inginkan, semangat perjuanganpun harus menggelora, memiliki sikap berani dan
pantang menyerah, tidak lupa untuk selalu diiringi doa kepada Tuhan.
2.
Kata/Frasa/Kalusa/Kalimat
yang bermakna Konotatif dan Denotaif
Denotatif
|
Konotatif
|
Tidak bisa teriak
“merdeka” dan angkat senjata lagi
|
terbaring antara
Karawang-Bekasi
|
siapakah yang tidak
lagi mendengar deru kami
|
Kami bicara padamu
dalam hening di malam sepi
|
Kami mati muda
|
kami maju dan
berdegak hati
|
Kenang, kenanglah
kami
|
Jika dada rasa hampa
dan jam dinding yang berdetak
|
Kami sekarang mayat
|
Kami sudah coba apa
yang kami bias
|
|
Tapi kerja belum
selesai, belum apa-apa
|
|
Memperhitungkan arti
4-5 ribu nyawa
|
|
Kami cuma
tulang-tulang berserakan
|
|
Tapi adalah
kepunyaanmu
|
|
Kaulah lagi yang tentukan nilai-nilai tulang
berserakan
|
|
jiwa kami melayang
untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
|
|
tidak untuk apa-apa
|
|
Kami tidak tahu,
kami tidak bisa lagi berkata
|
|
Kaulah sekarang yang berkata
|
|
Teruskan,
teruskanlah jiwa kami
|
|
Menjaga Bung
Karno/Menjaga Bung Hatta/Menjaga Bung Syahrir
|
|
Berilah kami arti
|
|
Berjagalah terus di
garis batas pernyataan dan impian
|
|
Beribu kami
terbaring antara Karawang dan Bekasi
|
3.
Struktur Gramatikal Puisi “Karawang-Bekasi”
Karya Chairil Anwar
frasa
antara Karawang-Bekasi
angkat senjata
jam dinding
mati muda
tinggal tulang
di malam sepi
di garis batas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar