Prasasti Bahasa dan Sastra Indonesia

Kamis, 27 November 2014

MAKALAH: DAMPAK PENGGUNAAN AKRONIM

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang bagaimana dampak penggunaan akronim dalam surat kabar terhadap masyarakat. Bahasa jurnalistik yang digunakan oleh jurnalis dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa misalnya surat kabar sedikit banyak akan memberi pengaruh kepada masyarakat. Bahasa jurnalistik pada media massa merupakan bagian dari komunikasi massa, karena merupakan komunikasi massa bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal dan juga mengutamakan kemampuan menyampaikan informasi kepada pembaca secara cepat dan komunikatif. Untuk menyampaikan informasi secara cepat tersebut para jurnalis memilih menggunakan akronim untuk mempersingkat beberapa kata atau frasa sehingga menghemat penggunanan kata. Akronim yakni  singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata. Keberadaan akronim sendiri sudah diresmikan dan tertuang dalam Keputusan Mendikbud RI Nomor 0543a/U/198 tanggal 9 September 1987, tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Pada surat kabar akronim lazim digunakan, meskipun demikian akronim yang baru bermunculan bukan berarti tidak memberikan permasalahan. Surat kabar harus bisa menjangkau semua lapisan masyarakat yang tingkat pemahamannya bervariasi. Pemahaman masyarakat terhadap akronim yang digunakan dalam surat kabar juga beragam tidak semua kalangan masyarakat akan cepat memahami akronim yang keberadannya dalam tata bahasa yang masih terbilang baru atau belum dikenal sehingga akan menimbulkan kekurangpahaman bahkan kesalah pemahaman maksud dari akronim tersebut.

                                                                              


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Kegemaran bangsa kita membuat akronim sudah sampai pada tingkat eksesif. Pada awalnya pembuatan akronim dominan dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang memiliki pengaruh di masyarakat. Akan tetapi pada saat ini akronim dibuat seenaknya dengan maksud mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan pada kata atau frasa yang diakronimkan. Kebiasaan atau kegemaran membuat akronim dengan mengambil unsur-unsur kata itu kemudian diikuti oleh para wartawan atau jurnalis dan dimuat dalam surat kabar, majalah, atau siaran televisi tempatnya bekerja, banyak akronim baru sering muncul tanpa keterangan sama sekali dalam surat kabar, untuk beberapa lama hal itu menimbulkan kebingungan pembaca.
Saat ini, terdapat banyak akronim berkembang di ranah publik khususnya pada surat kabar. Namun, tidak sedikit yang menerjang kaidah kebahasaaan. Pada salah satu media cetak ditemukan penulisan akronim markus (kasus Anggodo-Bank Century). Akronim markus  yang berarti  ‘makelar kasus’ tersebut sempat juga membingungkan masyarakat umum karena kombinasi vokal dan konsonannya terkesan aneh. Kebanyakan masyarakat akan mengira bahwa markus adalah nama orang yang ditunjuk Anggodo dalam kasus Bank Century. Lalu, begitu dinamiskah bahasa sehingga seringkali dibuat seenaknya dan terkadang memunculkan makna baru yang belum tentu berterima di masyarakat.
Di samping itu, masih banyak contoh frasa yang menjadi ragam akronim di ruang publik. Apakah hal itu terjadi karena keluwesan atau karena tuntutan. Bahasa Indonesia telah memiliki pedoman berbahasa yang tertuang dalam Keputusan Mendikbud RI Nomor 0543a/U/198 tanggal 9 September 1987, tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PEYD) itu dapat dijadikan acuan dasar penulisan akronim yang benar. Di dalam PEYD telah diatur bahwa akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim dan jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata bahasa Indonesia. Namun, tujuan pembuatan akronim bukan semata-mata untuk mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan pada kata atau frasa yang diakronimkan sehingga terdengar serasi dan mudah untuk diucapakan. Oleh karena itu hal ini perlu dibenahi sehingga tidak membuat masyarakat indonesia tidak memahami bahasanya sendiri.
B.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana dampak penggunaan akronim dalam surat kabar Suara NTB terhadap masyarakat di Kecamatan Gerung?















BAB II
KERANGKA TEORI

A.       Bahasa Jurnalistik
Bahasa yang digunakan wartawan dalam dalam menulis karya jurnalistik dalam media massa disebut sebagai bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Pada dasarnya bahasa jurnalistik digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa (Anwar, 1991 dalam Suroso, 2001:1). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada karya-karya jurnalislah yang bisa disebut sebagai bahasa jurnalistik atau bahasa pers.
Bahasa jurnalistik merupakan salah satu varian bahasa Indonesia. Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa yang digunakan oleh wartawan dalam surat kabar, majalah, atau tabloid. Dengan demikian, bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat pembaca dengan ukuran intelektual minimal, sehingga mereka yang membaca tulisan tersebut mampu menikmati isinya. Bahasa jurnalistik juga harus sesuai dengan norma-norma dan kaidah-kaidah bahasa  (Anwar, 1979 dalam Suroso 2001:2).
Bahasa Jurnalistik memiliki dua ciri utama : komunikatif dan spesifik. Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau langsung ke pokok persoalan (straight to the point), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa basa-basi. Spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya pendek-pendek, kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti orang awam. Bahasa Jurnalistik hadir atau diperlukan oleh insan pers untuk kebutuhan komunikasi efektif dengan pembaca (juga pendengar dan penonton).
B.        Ciri-Ciri Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa jurnalistik itu harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal dan juga mengutamakan kemampuan menyampaikan informasi kepada pembaca secara cepat dan komunikatif. Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas (JS Badudu, 1988 dalam Kurniawan 1999:5). Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu beberapa ciri yang harus di miliki bahasa jurnalistik di antaranya menurut Tubiyono (2011) yang mengutip dari H. Rosihan Anwar dan John Hohenberg ada 18 ciri bahasa Indonesia jurnalistik yaitu:
1.      Sesuai dengan ejaan yang berlaku.
2.      Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku.
3.      Tidak menanggalkan prefik me- dan ber- , kecuai dalam judul berita.
4.      Menggunakan kalimat pendek, lengkap, dan logis.
5.      Setiap alinea terdiri dari 2 atau tiga kalimat dan koherensinya terpelihara.
6.      Penggunaan bentuk aktif (kata dan kalimat) lebih diutamakan. Bentuk pasif seperlunya saja.Kata sifat juga dibatasi penggunaannya.
7.      Ungkapan-ungkapan klise seperti: sementara itu, perlu diketahui,di mana, kepada siapa dan sebagainya dihindari.
8.      Kata berlebihan tidak digunakan.
9.      Kalimat aktif dan pasif tidak dicampuradukkan dalam satu paragraf.
10.  Kata asing dan istilah ilmiah yang sangat teknis tidak digunakan. Kalau terpaksa harus dijelaskan.
11.  Penggunaan singkatan dan akronim dibatasi. Pada pertama kali singkatan dan akronim digunakan harus diberi penjelasan kepanjangannya.
12.  Penggunaan kata yang pendek didahulukan daripada kata yang panjang.
13.  Tidak menggunakan kata ganti orang pertama (saya dan kami), berita harus menggunakan kata ganti orang ketiga.
14.   Kutipan ditempatkan pada alinea baru.
15.  Tidak memasukkan pendapat sendiri dalam berita.
16.  Berita disajikan dalam bentuk past tense sesuatu yang telah terjadi.
17.  Kata hari ini digunakan dalam media elektronik dan harian sore. Sedangkan kata kemarin digunakan harian pagi hari. Segala sesuatu dijelaskan secara spesifik.
18.  Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikatif, mudah dipahami bagi pembaca
C.        Akronim
Singkatan adalah bentuk yang dipendekkan yang terdiri dari satu huruf atau lebih (Husain, 1994 dalam Permendiknas, 2011:76 ). Sedangkan akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata (Husain, 1994 dalam Permendiknas, 2011:76 ). Menurut Pedoman Umum EYD, akronim dibentuk dengan menggabungkan huruf awal (misalnya ABRI), gabungan suku kata (misalnya pemilu), atau kombinasi keduanya (misalnya Akabri). Pembentukan akronim harus memperhatikan dua syarat, yaitu (1) jumlah suku kata jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim dalam bahasa Indonesia, dan (2) ada keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
1.      Jenis dan Cara Penulisan Akronim
Dilihat dari cara pembentukan dan cara penulisannya, akronim dalam bahasa Indonesia dibedakan atas tiga jenis sebagai berikut :
a)      Jenis-jenis Akronim
1)      Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Misalnya : LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),  SIM (Surat Izin Mengemudi), PAN (Partai Amanat Nasional), BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa)
2)      Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata demi deret kata ditulis dengan huruf awal kapital. Misalnya:
Deplu              Departemen Luar Negeri
Menlu              Menteri Luar Negeri
Stikes              Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Depag              Departemen Agama
3)       Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil. Misalnya :
pemilu             Pemilihan Umum
pilpres              Pilihan Presiden
capres              Calon Presiden
tatib                 Tata Tertib
panja                Panitia Kerja
2.      Cara Penulisan Akronim
Dalam bahasa Indonesia proses bentukan akronim tidak didasarkan pada kaidah yang mengikat kelihatannya syarat enak didengar yang sangat menentukan (Pateda, 2001 dalam Permendiknas 2011:78).
a)      GOR = Gedung Olah Raga
GOR merupakan kepanjangan dari gedung olah raga yang dipendekkan dengan mengambil huruf pertamanya.
GOR : /gor/ dan membacanya tidak /ge-o-er/ tetapi dibaca seperti kata GOR (Gedung Olah Raga). Cara penulisannya menggunakan huruf kapital semua karena GOR merupakan akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata.
b)      Deplu = Departemen Luar Negeri
Deplu merupakan kepanjangan dari Departemen Luar Negeri yang dipendekkan dengan mengambil tiga huruf pertama pada kata Departemen dan mengambil huruf pertama pada kata luar dan neggeri. Deplu = /deplu/ dan cara membacanya tidak /de-pe-el-u/ tetapi dibaca seperti kata yaitu Deplu. Cara penulisannya menggunakan huruf awal kapital karena Deplu merupakan akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata.
c)      Depag = Departemen Agama
Depag merupakan kepanjangan dari departemen agama yang dipendekkan dengan mengambil suku pertama pada setiap kata. Depag = /depag/ dan cara membacanya tidak /de-pe-ge/ tetapi dibaca seperti kata yaitu Depag (Departemen Agama), cara penulisannya ditulis dengan huruf awal huruf kapital karena Depag merupakan akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata.
3.      Syarat Penulisan Akronim
Syarat penulisan akronim adalah sebagai berikut :
a)      Jumlah suku kata akronim jangan melebihi suku kata yang lazim pada kata Indonesia.
b)      Akronim dibentuk dengan memperhatikan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim. Karena akronim dapat dilafalkan sebagai kata yang wajar, maka kadang-kadang akronim dapat diberi afiks atau imbuhan.
Contoh :
Ebtanas : diebtanaskan (dimasukkan dalam ujian ebta yang bersifat nasional).






BAB III
PEMBAHASAN

Bahasa ragam jurnalistik mempunyai variasi bahasanya sendiri tetapi harus didasarkan pada ragam bahasa standar, bahasa ragam jurnalistik pada surat kabar merupakan salah satu wadah pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dan bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat sebagai pembacanya. Surat kabar dibaca oleh lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuanya. Disamping itu, setiap orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya dengan membaca surat kabar. Bahasa jurnalistik juga harus lugas tetapi  jelas,  agar  mudadipahami  isinya.  Pembaca  surat  kabar  tidak  harus mengulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar tersebut. Akan tetapi, dalam surat kabar banyak ditemukan kekurangan maupun kesalahan kaidah kebahasaan yang bisa membuat kebingungan pembaca.
Dalam surat kabar banyak dijumpai penggunaan akronim tanpa penjelasan atau keterangan maksud sehingga membuat kebingungan pada pembaca dan kesalahan penafsiran makna dari kata atau frasa yang diakronimkan tersebut. Akronim tilang, sidak, migas, dan miras adalah bebarapa contoh akronim yang sering digunakan dalam surat kabar. Dikalangan intelektual akronim diatas bisa dipahami arti atau kepanjangannya. Akan tetapi, tidak semua lapisan masyarakat mudah memahami arti dari akronim tersebut.
Dibawah ini adalah  tabel hasil pengamatan tingkat kepahaman pelajar dan masyarakat  terhadap beberapa akronim yang biasa digunakan dalam surat kabar.



Tabel 3.1 Hasil pengamatan tingkat kepahaman dari 30 orang  PNS di Kecamatan Gerung.
Kata/Frasa yang diakronimkan

Akronim
Hasil
Tepat (orang)
Kurang tepat (orang)
Tidak tepat (orang)
Bukti pelanggaran
Tilang
8
9
13
Inpeksi mendadak
Sidak
13
5
12
Minyak bumi dan gas
Migas
27
3
-
Minuman keras
Miras
24
6
-
Pencurian kendaraan bermotor
Curanmor
21
9
-
Pemerintah kota
Pemkot
30
-
-
Honor daerah
Honda
30
-
-
Radio detecting and ranging
Radar
-
6
26
Peluru kendali
Rudal
6
3
21
Ekonomi, keuangan, dan pembangunan
Ekubang
1
-
29
Ekonomi, keuangan, dan industri
Ekuin
1
-
29
Dinas lalu lintas
Ditlantas
25
1
4
Rumah toko
Ruko
-
-
30
Makelar kasus
Markus
-
-
30






Tabel 3.2 Hasil pengamatan tingkat kepahaman dari 30 orang Pelajar di Kecamatan Gerung.
Kata/Frasa yang diakronimkan

Akronim
Hasil
Tepat (orang)
Kurang tepat (orang)
Tidak tepat (orang)
Bukti pelanggaran
Tilang
4
9
17
Inpeksi mendadak
Sidak
4
11
15
Minyak bumi dan gas
Migas
28
2
-
Minuman keras
Miras
30
-
-
Pencurian kendaraan bermotor
Curanmor
21
9
-
Pemerintah kota
Pemkot
25
-
5
Honor daerah
Honda
11
-
19
Radio detecting and ranging
Radar
-
8
22
Peluru kendali
Rudal
3
8
19
Ekonomi, keuangan, dan pembangunan
Ekubang
-
-
30
Ekonomi, keuangan, dan industri
Ekuin
-
-
30
Dinas lalu lintas
Ditlantas
12
8
10
Rumah toko
Ruko
27
-
3
Makelar kasus
Markus
-
-
30

Penggunaan beberapa contoh akronim diatas tidak hanya ditemukan dalam surat kabar Suara NTB, namun beberapa dari akronim tersebut juga ditemukan di surat kabar Lombok Post, Jawa Post, dan Koran Kampus Media Universitas Mataram. Penggunaan akronim honda ditemukan pada surat kabar Suara NTB Edisi 20 Juli 2012. Penggunaan akronim honda dapat mempunyai makna ganda, sehingga dapat menimbulkan penafsiran yang salah. Pembaca harus menyimak utuh seluruh isi berita supaya tidak terkecoh dengan akronim  honda. Bila tidak, pembaca dapat menafsirkan akronim honda sebagai merk kendaraan bermotor. Menurut pengamatan terhadap 30 orang pelajar di kecamatan Gerung, 64% tidak mengetahui arti akronim honda, pemakaian akronim ini banyak dipakai pada surat kabar harian yang terbit didaerah. Alasan penggunaan akronim  honda  oleh surat kabar tersebut apakah untuk menghemat pemakaian kata karena terbatasnya kolom atau akronim itu sudah dianggap sebagai kata yang utuh.
Penggunaan akronim tilang, sidak, dan rudal membuat masyarakat kurang tepat menafsirkan akronim tersebut. Akronim tilang berarti bukti prlanggaran lalu lintas, akronim sidak berarti pemeriksaan yang dilakukan secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan dan akronim rudal berasal dari singkatan kata majemuk peluru kendali yang diterjemahkan dari bahasa inggris yang berarti guided missile. Dari hasil pengamatan 44% dari 30 orang PNS dan 57% dari 30 orang pelajar di kecamatan Gerung  menafsirkan akronim tilang sebagai denda atau sanksi, padahal jika akronim tilang dihapuskan dan diganti dengan kata bukti pelanggaran, yakni bentuk awal sebelum kata bukti pelanggaran diakronimkan maka akan lebih memudahkan penafsiran masyarakat. Begitu pula pada akronim sidak. Dari hasil pengamatan 50% dari 30 orang menafsirakan akronim sidak sebagai penggeledahan dan 34% dari 30 orang tidak dapat menafsirkan. Pada akronim rudal 100% dari 30 orang menafsirkan akronim rudal sebagai salah satu jenis senjata. Padahal jika tetap pada bentuk asli kata tersebut sebelum diakronimkan akan lebih memudahkan penafsiran masyarakat sebagai pembaca.
Penggunaan akronim ekubang dan ekuin dalam surat kabar terdengar asing oleh masyarakat, dari pengamatan 98% dari 30 orang PNS dan 30 orang pelajar tidak bisa menafsirkan akronim ekubang dan ekuin. Ekubang adalah akronim dari kata majemuk ekonomi, keuangan, dan pembangunan dan ekuin adalah akronim dari ekonomi, keungan, dan industri. Jika akronim ini digunakan tanpa diikuti keterangan maksud maka akan membuat kesulitan memahami isi berita pada surat kabar itu sendiri. Berbeda dengan akronim ekubang dan ekuin, akronim migas, miras, pemkot dan ruko cukup dikenal oleh masyarakat, contoh akronim tersebut  merupakan jenis akronim yang bukan nama diri, berupa gabungan suku kata ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil. Dalam hal ini akronim migas, miras, pemkot, honda, dan ruko telah memenuhi syarat pembentukan akronim menurut Pedoman umum EYD. Penggunaan akronim curanmor juga cukup dikenal masyarakat seperti akronim migas, miras, pemkot, dan ruko. Namun, bentuk akronim ini sama dengan akronim tilang dan sidak yang cenderung dibentuk untuk keserasian kombinasi vokal dan konsonan sehingga mudah dilafalkan.
            Akronim curanmor yang merupakan singkatan dari frasa pencurian kendaraan bermotor dan akronim Ditlantas yang merupakan singkatan dari kata majemuk dinas lalu lintas mempunyai variasi pembentukan akronim yang berbeda dengan akronim lainnya. Penulisan akronim curanmor dengan cara mengambil suku kata yang berada ditengah dari kata pencurian, mengambil suku kata terakhir dari kata kendaraan dan megambil suku kata pertama dan digabungkan dengan fonem terakahir dari kata motor yakni fonem /r/. Sedangkan pada akronim Ditlantas ditulis dengan cara mengambil suku kata pertama dari kata dinas dan kata lalu, mengambil suku kata terkahir dari kata lintas dan penambahan fonem /t/ untuk memberi keserasian vokal dan konsonan. Meskipun akronim curanmor dan Ditlantas cukup dikenal masyarakat tetapi pembentukan akronim tersebut belum memenuhi syarat penulisan akronim menurut Pedoman Umum EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).
            Akronim markus adalah contoh akronim baru yang dibuat oleh jurnalis di media massa, awal kemunculan akronim ini yakni ketika kasus bank Century santer diberitakan di media massa, pembentukan akronim markus bertujuan untuk mengekenomiskan kata majemuk makelar kasus sehingga akronim tersebut lebih dipilih untuk digunakan pada media massa.
Dari tabel diatas maka bisa disimpulkan bahwa tingkat pemahaman pelajar dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap akronim yang digunakan dalam surat kabar belum baik, karena selama ini tidak pernah dilakukannya sosialisasi beberapa akronim yang kemunculannya baru tanpa ada penjelasan atau keterangan maksud. Kamus akronim yang dibuat oleh Badan Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia juga tidak diperbaharui ataupun mengikuti perkembangan akronim yang terus bermunculan dalam surat kabar. Para jurnalis yang telah lazim menggunakan akronim dalam penulisan surat kabar belum menyadari dampak negatif penggunaan akronim tersebut.
Penggunaan akronim yang biasa diguanakan jurnalis pada surat kabar merupakan salah satu cara ber­komunikasi ekonomis. Namun tidak semua orang yang diajak berkomunikasi memahami singkatan yang digunakan. Jika akronim tersebut digunakan dalam berkomunikasi yang meli­batkan masyarakat luas dengan tidak menyertakan kepanjangan singkatan kata tersebut, maka yang akan terjadi adalah munculnya gangguan komunikasi. Dalam beberapa surat kabar akronim diperlakukan sebagai suatu kata dan  tidak ditulis dengan tanda titik, akronim dapat saja digunakan da­lam penulisan surat kabar selama tidak menimbulkan gangguan dalam pema­hamannya. Akan tetapi, media massa seperti surat kabar yang akan menjangkau semua lapisan masyarakat, penggunaan akronim tersebut kurang efisien. Bahasa jurnalistik harus bisa dipahami dari semua lapisan masyarakat. Oleh Karena itu, ketika menggunakan akronim atau singkatan harus bisa dipahami bahkan oleh anak kecil. Oleh karena itu, penggunaan akronim merupakan salah satu kasus kebahasaan yang harus dibenahi karena menjadi salah satu pemicu melemahnya bahasa Indonesia.
Akronim mengalami perkembangan mengikuti perkembangan penggunaan bahasa, media massa ikut dan turut bertanggung jawab terhadap penciptaan akronim yang kadang-kadang rancu. Kemunculan akronim baru yang tidak memenuhi syarat pembentukan akronim menurut PEYD (Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan) ataupun akronim yang berindikasi memicu kesalahpahaman pembaca harus ditolak untuk digunakan dalam surat kabar oleh para jurnalis. Oleh karena itu, jika permasalahan kebahasaan ini tidak menjadi permasalahan yang semakin serius, kamus akronim yang dibuat oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia harus terus mengikuti perkembangan akronim tersebut dari kewaktu sehingga akronim yang merupakan slah satu bentuk ragam bahasa  standar ini tidak menjadi dilema dalam masyarakat.
















BAB IV
PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Bahasa jurnalistik digunakan oleh jurnalis dalam menulis karya-karya jurnalistik pada media massa misalnya surat kabar. Dengan tulisan yang ada dalam surat dapat terjadi komunikasi antara penulis dan pembaca. Penulis menyampaikan pesannya kepada pembaca sehingga pembaca memahami apa yang dimaksud penulis. Penggunaan beberapa akronim dalam surat kabar yang kurang dikenal masyarakat akan memberikan dampak negatif bagi pembacanya,  meskipun dengan menggunakan akronim merupakan cara berbahasa yang ekonomis dan lugas,  penggunaan akronim tersebut juga akan membingungkan pembacanya karena kerap sekali diperlakukan sebagai uatu kata yang utuh tanpa dikuiti dengan penjelasan dan keterangan maksud, akronim terus mengalami perkembangan mengikuti perkembangan penggunaan bahasa, banyak akronim yang terus bermunculan dalam ranah publik dan tak jarang akronim ini hanya dimengerti oleh sebagian kecil individu atau kelompok. Oleh karena itu  jika akronim yang digunakan dalam surat kabar menjadi salah satu pemicu kesulitan kesalahan penafsiran masyarakat sebagai pembaca, maka para jurnalis harus menolak akronim tersebut untuk digunakan dalam surat kabar.










DAFTAR PUSTAKA

Husain, Abdul Rajak. 1994. Kamus Resmi Singkatan dan Akronim Buku Bahasa. Solo: CV. Aneka.
Kurniawan, 1999. Bahasa Jurnalistik. Modul Bahasa Jurnalistik Fakultas Bahasa dan Seni  Universitas Negri Yogyakarta. Yogyakarta
Permendiknas. 2011. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta:Intan Pariwara.
Suroso. 2001. Bahasa Jurnalistik Sebagai Materi Pengajaran BIPA Tingkat Lanjut. Makalah Seminar Jurnalisme Multimedia. Jakarta
Tarigan, Henry Guntur. 1982. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar