ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang bagaimana
dampak penggunaan akronim dalam surat kabar terhadap masyarakat. Bahasa jurnalistik yang digunakan oleh jurnalis dalam menulis
karya-karya jurnalistik di media massa misalnya surat kabar sedikit
banyak akan memberi pengaruh kepada masyarakat. Bahasa jurnalistik pada media massa merupakan bagian dari komunikasi massa, karena merupakan komunikasi massa bahasa jurnalistik harus jelas dan
mudah dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal dan juga mengutamakan
kemampuan menyampaikan informasi kepada pembaca secara cepat dan komunikatif.
Untuk menyampaikan informasi secara cepat tersebut para jurnalis memilih
menggunakan akronim untuk mempersingkat beberapa kata atau frasa sehingga
menghemat penggunanan kata. Akronim yakni
singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata. Keberadaan
akronim sendiri sudah diresmikan dan tertuang dalam Keputusan
Mendikbud RI Nomor 0543a/U/198 tanggal 9 September 1987, tentang Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Pada surat kabar akronim lazim digunakan, meskipun
demikian akronim yang baru bermunculan bukan berarti tidak memberikan
permasalahan. Surat kabar harus bisa menjangkau semua
lapisan masyarakat yang tingkat pemahamannya bervariasi. Pemahaman masyarakat
terhadap akronim yang digunakan dalam surat kabar juga beragam tidak semua
kalangan masyarakat akan cepat memahami akronim yang keberadannya dalam tata
bahasa yang masih terbilang baru atau belum dikenal sehingga akan menimbulkan
kekurangpahaman bahkan kesalah pemahaman maksud dari akronim tersebut.
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kegemaran bangsa
kita membuat akronim sudah sampai pada tingkat eksesif. Pada awalnya pembuatan akronim dominan dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang
memiliki pengaruh di masyarakat. Akan tetapi pada saat ini akronim dibuat
seenaknya dengan maksud mengindahkan
keserasian kombinasi vokal dan konsonan pada kata atau frasa yang diakronimkan. Kebiasaan atau kegemaran membuat akronim
dengan mengambil unsur-unsur kata itu kemudian diikuti oleh para wartawan atau
jurnalis dan dimuat dalam surat kabar, majalah, atau siaran televisi tempatnya
bekerja, banyak akronim baru sering muncul tanpa keterangan sama sekali dalam
surat kabar, untuk beberapa lama hal itu menimbulkan kebingungan pembaca.
Saat ini, terdapat banyak
akronim berkembang di ranah publik khususnya pada surat kabar. Namun, tidak sedikit
yang menerjang kaidah kebahasaaan. Pada salah satu media cetak ditemukan
penulisan akronim markus (kasus
Anggodo-Bank Century). Akronim markus yang
berarti ‘makelar kasus’ tersebut
sempat juga membingungkan masyarakat umum karena kombinasi vokal dan konsonannya
terkesan aneh. Kebanyakan masyarakat
akan mengira bahwa markus adalah nama orang yang ditunjuk Anggodo
dalam kasus Bank Century. Lalu, begitu dinamiskah bahasa sehingga seringkali dibuat seenaknya dan
terkadang memunculkan makna baru yang belum tentu berterima di masyarakat.
Di samping itu, masih banyak contoh frasa yang menjadi ragam akronim di ruang
publik. Apakah hal itu terjadi karena keluwesan atau karena tuntutan. Bahasa Indonesia telah memiliki
pedoman berbahasa yang tertuang dalam Keputusan Mendikbud RI Nomor 0543a/U/198
tanggal 9 September 1987, tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (PEYD) itu dapat dijadikan acuan dasar penulisan
akronim yang benar. Di dalam PEYD telah diatur bahwa akronim dibentuk dengan
mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola
kata Indonesia yang lazim dan jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah
suku kata yang lazim pada kata bahasa Indonesia. Namun, tujuan pembuatan
akronim bukan semata-mata untuk mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan pada kata
atau frasa yang diakronimkan sehingga terdengar serasi dan mudah untuk
diucapakan. Oleh karena itu hal ini perlu dibenahi sehingga tidak membuat
masyarakat indonesia tidak memahami bahasanya sendiri.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas adalah
bagaimana dampak penggunaan akronim dalam surat kabar Suara NTB terhadap
masyarakat di Kecamatan Gerung?
BAB II
KERANGKA TEORI
KERANGKA TEORI
A.
Bahasa Jurnalistik
Bahasa yang digunakan wartawan dalam dalam menulis karya jurnalistik dalam
media massa disebut sebagai bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Pada dasarnya bahasa jurnalistik digunakan
oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik di media massa
(Anwar, 1991 dalam Suroso, 2001:1). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada
karya-karya jurnalislah yang bisa disebut sebagai bahasa jurnalistik atau
bahasa pers.
Bahasa jurnalistik merupakan salah satu varian
bahasa Indonesia. Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa yang
digunakan oleh wartawan dalam surat kabar, majalah, atau tabloid. Dengan
demikian, bahasa jurnalistik harus jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat
pembaca dengan ukuran intelektual minimal, sehingga mereka yang membaca tulisan
tersebut mampu menikmati isinya. Bahasa jurnalistik juga harus sesuai dengan
norma-norma dan kaidah-kaidah bahasa (Anwar, 1979 dalam Suroso 2001:2).
Bahasa Jurnalistik memiliki dua ciri utama : komunikatif dan spesifik.
Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau langsung ke pokok persoalan (straight to the point), bermakna
tunggal, tidak konotatif, tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa
basa-basi. Spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni
kalimatnya pendek-pendek, kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti orang awam.
Bahasa Jurnalistik hadir atau diperlukan oleh insan pers untuk kebutuhan
komunikasi efektif dengan pembaca (juga pendengar dan penonton).
B.
Ciri-Ciri
Bahasa Jurnalistik
Bahasa
jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam
harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa
jurnalistik itu harus jelas dan mudah dibaca dengan tingkat ukuran
intelektual minimal dan juga mengutamakan kemampuan menyampaikan informasi
kepada pembaca secara cepat dan komunikatif. Bahasa jurnalistik memiliki
sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan
jelas (JS Badudu, 1988 dalam Kurniawan 1999:5). Sifat-sifat itu harus dimiliki
oleh bahasa pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua
lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu
beberapa ciri yang harus di miliki bahasa jurnalistik di antaranya menurut
Tubiyono (2011) yang mengutip dari H. Rosihan Anwar dan John Hohenberg ada 18
ciri bahasa Indonesia jurnalistik yaitu:
1.
Sesuai dengan
ejaan yang berlaku.
2.
Sesuai dengan
kaidah bahasa Indonesia yang berlaku.
3.
Tidak
menanggalkan prefik me- dan ber- , kecuai dalam judul berita.
4.
Menggunakan
kalimat pendek, lengkap, dan logis.
5.
Setiap alinea
terdiri dari 2 atau tiga kalimat dan koherensinya terpelihara.
6.
Penggunaan
bentuk aktif (kata dan kalimat) lebih diutamakan. Bentuk pasif seperlunya
saja.Kata sifat juga dibatasi penggunaannya.
7.
Ungkapan-ungkapan
klise seperti: sementara itu,
perlu diketahui,di mana, kepada siapa dan sebagainya dihindari.
8.
Kata
berlebihan tidak digunakan.
9.
Kalimat aktif
dan pasif tidak dicampuradukkan dalam satu paragraf.
10. Kata asing dan istilah ilmiah yang sangat teknis tidak digunakan. Kalau
terpaksa harus dijelaskan.
11. Penggunaan singkatan dan akronim dibatasi. Pada pertama kali singkatan dan
akronim digunakan harus diberi penjelasan kepanjangannya.
12. Penggunaan kata yang pendek didahulukan daripada kata yang panjang.
13. Tidak menggunakan kata ganti orang pertama (saya dan kami), berita harus
menggunakan kata ganti orang ketiga.
14. Kutipan ditempatkan pada alinea baru.
15. Tidak memasukkan pendapat sendiri dalam berita.
16. Berita disajikan dalam bentuk past
tense sesuatu yang telah terjadi.
17. Kata hari ini digunakan
dalam media elektronik dan harian sore. Sedangkan kata kemarin digunakan harian pagi hari.
Segala sesuatu dijelaskan secara spesifik.
18. Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikatif, mudah dipahami bagi pembaca
C.
Akronim
Singkatan adalah bentuk yang
dipendekkan yang terdiri dari satu huruf atau lebih (Husain, 1994 dalam Permendiknas, 2011:76 ). Sedangkan akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata ataupun gabungan huruf dan
suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata (Husain, 1994 dalam Permendiknas, 2011:76 ). Menurut Pedoman Umum
EYD, akronim dibentuk
dengan menggabungkan huruf awal (misalnya ABRI), gabungan suku kata
(misalnya pemilu), atau kombinasi keduanya (misalnya Akabri).
Pembentukan akronim harus memperhatikan dua syarat, yaitu (1) jumlah suku kata
jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim dalam bahasa Indonesia, dan (2) ada
keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia
yang lazim.
1.
Jenis dan Cara Penulisan Akronim
Dilihat dari cara pembentukan dan cara
penulisannya, akronim dalam bahasa Indonesia dibedakan atas tiga jenis sebagai
berikut :
a)
Jenis-jenis Akronim
1)
Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital. Misalnya : LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),
SIM (Surat Izin Mengemudi), PAN (Partai Amanat Nasional), BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa)
2)
Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan
suku kata demi deret kata ditulis dengan huruf awal kapital. Misalnya:
Deplu
Departemen Luar Negeri
Menlu
Menteri Luar Negeri
Stikes
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Depag
Departemen Agama
3)
Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan suku kata, ataupun
gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf
kecil. Misalnya :
pemilu
Pemilihan Umum
pilpres
Pilihan Presiden
capres
Calon Presiden
tatib
Tata Tertib
panja
Panitia Kerja
2.
Cara Penulisan Akronim
Dalam bahasa Indonesia proses bentukan akronim
tidak didasarkan pada kaidah yang mengikat kelihatannya syarat enak didengar
yang sangat menentukan (Pateda, 2001 dalam
Permendiknas 2011:78).
a)
GOR = Gedung Olah Raga
GOR merupakan kepanjangan dari gedung olah raga yang dipendekkan dengan
mengambil huruf pertamanya.
GOR : /gor/ dan membacanya tidak /ge-o-er/ tetapi dibaca seperti kata GOR
(Gedung Olah Raga). Cara penulisannya menggunakan huruf kapital semua karena GOR
merupakan akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata.
b)
Deplu = Departemen Luar Negeri
Deplu merupakan kepanjangan dari Departemen Luar
Negeri yang dipendekkan dengan mengambil tiga huruf pertama pada kata
Departemen dan mengambil huruf pertama pada kata luar dan neggeri. Deplu =
/deplu/ dan cara membacanya tidak /de-pe-el-u/ tetapi
dibaca seperti kata yaitu Deplu. Cara penulisannya menggunakan huruf awal kapital karena Deplu merupakan
akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku
kata dari deret kata.
c)
Depag = Departemen Agama
Depag merupakan kepanjangan dari departemen agama yang dipendekkan dengan
mengambil suku pertama pada setiap kata. Depag = /depag/ dan cara membacanya
tidak /de-pe-ge/ tetapi dibaca seperti kata yaitu Depag (Departemen Agama),
cara penulisannya ditulis dengan huruf awal huruf kapital karena Depag merupakan
akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku
kata dari deret kata.
3.
Syarat Penulisan Akronim
Syarat penulisan akronim adalah sebagai berikut :
a)
Jumlah suku kata akronim jangan melebihi suku kata yang lazim pada kata Indonesia.
b)
Akronim dibentuk dengan memperhatikan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai
dengan pola kata Indonesia yang lazim. Karena akronim dapat dilafalkan sebagai
kata yang wajar, maka kadang-kadang akronim dapat diberi afiks atau imbuhan.
Contoh :
Ebtanas : diebtanaskan (dimasukkan dalam ujian
ebta yang bersifat nasional).
BAB III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Bahasa ragam
jurnalistik mempunyai variasi bahasanya sendiri tetapi harus didasarkan
pada ragam bahasa standar,
bahasa ragam jurnalistik pada surat kabar merupakan salah satu wadah pembinaan
dan pengembangan bahasa Indonesia dan bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat
sebagai pembacanya. Surat kabar dibaca oleh lapisan masyarakat yang tidak
sama tingkat pengetahuanya. Disamping itu, setiap orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya
dengan membaca surat kabar. Bahasa jurnalistik juga harus lugas
tetapi jelas,
agar
mudah dipahami
isinya. Pembaca surat
kabar tidak
harus
mengulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan
dalam surat kabar tersebut.
Akan tetapi, dalam surat kabar banyak ditemukan kekurangan maupun kesalahan
kaidah kebahasaan yang bisa membuat kebingungan pembaca.
Dalam surat kabar banyak dijumpai
penggunaan akronim tanpa penjelasan atau keterangan maksud sehingga membuat
kebingungan pada pembaca dan kesalahan penafsiran makna dari kata atau frasa
yang diakronimkan tersebut. Akronim tilang, sidak, migas, dan miras adalah
bebarapa contoh akronim yang sering digunakan dalam surat kabar. Dikalangan intelektual
akronim diatas bisa dipahami arti atau kepanjangannya. Akan tetapi, tidak semua
lapisan masyarakat mudah memahami arti dari akronim tersebut.
Dibawah ini adalah tabel hasil pengamatan tingkat kepahaman pelajar dan masyarakat terhadap beberapa akronim yang biasa digunakan dalam surat kabar.
Dibawah ini adalah tabel hasil pengamatan tingkat kepahaman pelajar dan masyarakat terhadap beberapa akronim yang biasa digunakan dalam surat kabar.
Tabel
3.1 Hasil pengamatan tingkat kepahaman dari 30 orang PNS di Kecamatan Gerung.
Kata/Frasa yang diakronimkan
|
Akronim
|
Hasil
|
||
Tepat (orang)
|
Kurang tepat (orang)
|
Tidak tepat (orang)
|
||
Bukti pelanggaran
|
Tilang
|
8
|
9
|
13
|
Inpeksi mendadak
|
Sidak
|
13
|
5
|
12
|
Minyak bumi dan gas
|
Migas
|
27
|
3
|
-
|
Minuman keras
|
Miras
|
24
|
6
|
-
|
Pencurian kendaraan bermotor
|
Curanmor
|
21
|
9
|
-
|
Pemerintah kota
|
Pemkot
|
30
|
-
|
-
|
Honor daerah
|
Honda
|
30
|
-
|
-
|
Radio detecting and ranging
|
Radar
|
-
|
6
|
26
|
Peluru kendali
|
Rudal
|
6
|
3
|
21
|
Ekonomi, keuangan, dan pembangunan
|
Ekubang
|
1
|
-
|
29
|
Ekonomi, keuangan, dan industri
|
Ekuin
|
1
|
-
|
29
|
Dinas lalu lintas
|
Ditlantas
|
25
|
1
|
4
|
Rumah toko
|
Ruko
|
-
|
-
|
30
|
Makelar kasus
|
Markus
|
-
|
-
|
30
|
Tabel
3.2 Hasil pengamatan tingkat kepahaman dari 30 orang Pelajar di Kecamatan
Gerung.
Kata/Frasa yang diakronimkan
|
Akronim
|
Hasil
|
||
Tepat (orang)
|
Kurang tepat (orang)
|
Tidak tepat (orang)
|
||
Bukti pelanggaran
|
Tilang
|
4
|
9
|
17
|
Inpeksi mendadak
|
Sidak
|
4
|
11
|
15
|
Minyak bumi dan gas
|
Migas
|
28
|
2
|
-
|
Minuman keras
|
Miras
|
30
|
-
|
-
|
Pencurian kendaraan bermotor
|
Curanmor
|
21
|
9
|
-
|
Pemerintah kota
|
Pemkot
|
25
|
-
|
5
|
Honor daerah
|
Honda
|
11
|
-
|
19
|
Radio detecting and ranging
|
Radar
|
-
|
8
|
22
|
Peluru kendali
|
Rudal
|
3
|
8
|
19
|
Ekonomi, keuangan, dan pembangunan
|
Ekubang
|
-
|
-
|
30
|
Ekonomi, keuangan, dan industri
|
Ekuin
|
-
|
-
|
30
|
Dinas lalu lintas
|
Ditlantas
|
12
|
8
|
10
|
Rumah toko
|
Ruko
|
27
|
-
|
3
|
Makelar kasus
|
Markus
|
-
|
-
|
30
|
Penggunaan beberapa contoh akronim diatas tidak hanya
ditemukan dalam surat kabar Suara NTB, namun beberapa dari akronim tersebut
juga ditemukan di surat kabar Lombok Post, Jawa Post, dan Koran Kampus Media
Universitas Mataram. Penggunaan akronim honda ditemukan pada surat kabar Suara
NTB Edisi 20 Juli 2012. Penggunaan akronim honda dapat mempunyai makna ganda, sehingga
dapat menimbulkan penafsiran yang salah. Pembaca harus menyimak utuh seluruh
isi berita supaya tidak terkecoh dengan akronim honda. Bila tidak, pembaca dapat menafsirkan akronim honda sebagai merk kendaraan
bermotor. Menurut pengamatan terhadap 30 orang pelajar di kecamatan Gerung, 64%
tidak mengetahui arti akronim honda, pemakaian akronim ini banyak
dipakai pada surat kabar harian yang terbit didaerah. Alasan penggunaan
akronim honda oleh surat kabar tersebut apakah untuk
menghemat pemakaian kata karena terbatasnya kolom atau akronim itu sudah
dianggap sebagai kata yang utuh.
Penggunaan
akronim tilang, sidak, dan rudal membuat masyarakat kurang tepat menafsirkan
akronim tersebut. Akronim tilang berarti bukti prlanggaran lalu lintas, akronim sidak berarti pemeriksaan
yang dilakukan secara tiba-tiba tanpa pemberitahuan dan akronim rudal berasal
dari singkatan kata majemuk peluru kendali yang diterjemahkan dari bahasa inggris yang berarti guided
missile. Dari hasil pengamatan 44% dari 30 orang PNS dan 57% dari 30 orang pelajar
di kecamatan Gerung menafsirkan akronim
tilang sebagai denda atau sanksi, padahal jika akronim tilang dihapuskan dan
diganti dengan kata bukti pelanggaran, yakni bentuk awal sebelum kata bukti pelanggaran
diakronimkan maka akan lebih memudahkan penafsiran masyarakat. Begitu pula pada
akronim sidak. Dari hasil pengamatan 50% dari 30 orang menafsirakan akronim
sidak sebagai penggeledahan dan 34% dari 30 orang tidak dapat menafsirkan. Pada
akronim rudal 100% dari 30 orang menafsirkan akronim rudal sebagai salah satu
jenis senjata. Padahal jika tetap pada bentuk asli kata tersebut sebelum
diakronimkan akan lebih memudahkan penafsiran masyarakat sebagai pembaca.
Penggunaan
akronim ekubang dan ekuin dalam surat kabar terdengar asing oleh masyarakat,
dari pengamatan 98% dari 30 orang PNS dan 30 orang pelajar tidak bisa
menafsirkan akronim ekubang dan ekuin. Ekubang adalah akronim dari kata majemuk
ekonomi, keuangan, dan pembangunan dan ekuin adalah akronim dari ekonomi,
keungan, dan industri. Jika akronim ini digunakan tanpa diikuti keterangan
maksud maka akan membuat kesulitan memahami isi berita pada surat kabar itu
sendiri. Berbeda dengan akronim ekubang dan ekuin, akronim migas, miras, pemkot
dan ruko cukup dikenal oleh masyarakat, contoh akronim tersebut merupakan
jenis akronim yang bukan nama diri, berupa gabungan suku kata ataupun gabungan huruf dan
suku kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil. Dalam hal ini akronim migas, miras, pemkot, honda, dan ruko telah
memenuhi syarat pembentukan akronim menurut Pedoman umum EYD. Penggunaan
akronim curanmor juga cukup dikenal masyarakat seperti akronim migas, miras,
pemkot, dan ruko. Namun, bentuk akronim ini sama dengan akronim tilang dan
sidak yang cenderung dibentuk untuk keserasian kombinasi vokal dan konsonan
sehingga mudah dilafalkan.
Akronim curanmor yang merupakan
singkatan dari frasa pencurian kendaraan bermotor dan akronim Ditlantas yang
merupakan singkatan dari kata majemuk dinas lalu lintas mempunyai variasi
pembentukan akronim yang berbeda dengan akronim lainnya. Penulisan akronim
curanmor dengan cara mengambil suku kata yang berada ditengah dari kata
pencurian, mengambil suku kata terakhir dari kata kendaraan dan megambil suku
kata pertama dan digabungkan dengan fonem terakahir dari kata motor yakni fonem
/r/. Sedangkan pada akronim Ditlantas ditulis dengan cara mengambil suku kata
pertama dari kata dinas dan kata lalu, mengambil suku kata terkahir dari kata
lintas dan penambahan fonem /t/ untuk memberi keserasian vokal dan konsonan.
Meskipun akronim curanmor dan Ditlantas cukup dikenal masyarakat tetapi
pembentukan akronim tersebut belum memenuhi syarat penulisan akronim menurut
Pedoman Umum EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).
Akronim markus adalah contoh akronim
baru yang dibuat oleh jurnalis di media massa, awal kemunculan akronim ini
yakni ketika kasus bank Century santer diberitakan di media massa, pembentukan
akronim markus bertujuan untuk mengekenomiskan kata majemuk makelar kasus
sehingga akronim tersebut lebih dipilih untuk digunakan pada media massa.
Dari
tabel diatas maka bisa disimpulkan bahwa tingkat pemahaman pelajar dan tingkat
pemahaman masyarakat terhadap akronim yang digunakan dalam surat kabar belum
baik, karena selama ini tidak pernah dilakukannya sosialisasi beberapa akronim
yang kemunculannya baru tanpa ada penjelasan atau keterangan maksud. Kamus
akronim yang dibuat oleh Badan Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia juga tidak diperbaharui ataupun mengikuti perkembangan akronim yang
terus bermunculan dalam surat kabar. Para jurnalis yang telah lazim menggunakan
akronim dalam penulisan surat kabar belum menyadari dampak negatif penggunaan
akronim tersebut.
Penggunaan akronim yang biasa diguanakan jurnalis pada surat kabar
merupakan salah satu cara berkomunikasi ekonomis. Namun tidak semua orang yang
diajak berkomunikasi memahami singkatan yang digunakan. Jika akronim tersebut
digunakan dalam berkomunikasi yang melibatkan masyarakat luas dengan tidak
menyertakan kepanjangan singkatan kata tersebut, maka yang akan terjadi adalah
munculnya gangguan komunikasi. Dalam beberapa surat kabar akronim diperlakukan
sebagai suatu kata dan tidak ditulis
dengan tanda titik, akronim dapat saja digunakan dalam penulisan surat kabar selama
tidak menimbulkan gangguan dalam pemahamannya. Akan tetapi, media massa
seperti surat kabar yang akan menjangkau semua lapisan masyarakat, penggunaan
akronim tersebut kurang efisien. Bahasa jurnalistik harus bisa dipahami dari
semua lapisan masyarakat. Oleh Karena itu, ketika menggunakan akronim atau
singkatan harus bisa dipahami bahkan oleh anak kecil. Oleh karena itu,
penggunaan akronim merupakan salah satu kasus kebahasaan yang harus dibenahi
karena menjadi salah satu pemicu melemahnya bahasa Indonesia.
Akronim mengalami perkembangan mengikuti
perkembangan penggunaan bahasa, media massa ikut dan turut bertanggung jawab
terhadap penciptaan akronim yang kadang-kadang rancu. Kemunculan akronim baru yang tidak memenuhi syarat pembentukan
akronim menurut PEYD (Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan) ataupun akronim
yang berindikasi memicu kesalahpahaman pembaca harus ditolak untuk digunakan
dalam surat kabar oleh para jurnalis. Oleh karena itu, jika
permasalahan kebahasaan ini tidak menjadi permasalahan yang semakin serius,
kamus akronim yang dibuat oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia harus terus mengikuti perkembangan akronim tersebut dari kewaktu
sehingga akronim yang merupakan slah satu bentuk ragam bahasa standar ini tidak menjadi dilema dalam
masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Bahasa
jurnalistik digunakan oleh jurnalis
dalam menulis karya-karya jurnalistik pada media massa misalnya surat kabar. Dengan tulisan yang ada dalam surat dapat terjadi komunikasi antara penulis dan pembaca. Penulis menyampaikan
pesannya kepada pembaca sehingga pembaca memahami apa yang dimaksud penulis. Penggunaan beberapa akronim
dalam surat kabar yang kurang dikenal masyarakat akan memberikan dampak negatif
bagi pembacanya, meskipun dengan
menggunakan akronim merupakan cara berbahasa yang ekonomis dan lugas, penggunaan akronim tersebut juga akan membingungkan
pembacanya karena kerap sekali diperlakukan sebagai uatu kata yang utuh tanpa
dikuiti dengan penjelasan dan keterangan maksud, akronim terus mengalami
perkembangan mengikuti perkembangan penggunaan bahasa, banyak akronim yang
terus bermunculan dalam ranah publik dan tak jarang akronim ini hanya
dimengerti oleh sebagian kecil individu atau kelompok. Oleh karena itu jika akronim yang digunakan dalam surat kabar menjadi salah satu pemicu
kesulitan kesalahan penafsiran masyarakat sebagai pembaca, maka para jurnalis
harus menolak akronim tersebut untuk digunakan dalam surat kabar.
DAFTAR PUSTAKA
Husain, Abdul Rajak. 1994. Kamus Resmi Singkatan dan Akronim Buku
Bahasa. Solo: CV. Aneka.
Kurniawan, 1999. Bahasa Jurnalistik. Modul Bahasa Jurnalistik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negri Yogyakarta.
Yogyakarta
Permendiknas. 2011. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Jakarta:Intan Pariwara.
Suroso. 2001. Bahasa Jurnalistik Sebagai Materi Pengajaran
BIPA Tingkat Lanjut. Makalah Seminar Jurnalisme Multimedia. Jakarta
Tarigan, Henry Guntur. 1982. Menulis sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar